Translate

Tampilkan postingan dengan label PERNYATAAN SIKAP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PERNYATAAN SIKAP. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Juli 2022

TULISAN DAN TUNTUTAN MAHASISWA PAPUA UNTUK TOLAK DOB, OTSUS II DAN GELAR REFERENDUM UNTUK PAPUA

 

Foto : Mahasiswa Papua Kota Kupang, Aksi Tolak DOB dan Tolak OTSUS II


Oleh : Amp - Kupang

Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (UU DOB) Papua telah disahkan oleh DPR RI pada tanggal 30 Juni 2022 dan di ajukan ke pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pemerintah (Perpu) namun hingga saat ini pemerintah (Joko Widodo) belum mengeluarkan Perpu maka tepat tanggal 30 Juli 2022 UU DOB Papua akan dinyatakan sah.

Namun proses pembahasan dan pengesahan RUU tentang DOB maupun Otsus Papua JILID II tersebut tanpa melibatkan rakyat Papua, juga Majelis Rakyat Papua (MRP) dan dilakukan secara sepihak oleh Jakarta. Lantas 3 provinsi yang akan dimekarkan adalah Provinsi Papua Tengah ibukotanya di Nabire, Provinsi Papua Selatan Ibu kotanya di Merauke, dan Provinsi Papua Pegunungan yang Ibukotanya di Jayawijaya dan Papua Barat daya di Sorong. Pembahasan Rancangan UU DOB dilakukan atas dasar perubahan pasal 76 UU No. 2 Tahun 2021 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua. Lantas rakyat Papua berkali-kali merespon kebijakan sepihak kolonilisime Indonesia dengan aksi demonstrasi besar-besaran, baik di Papua maupun di luar Papua, di Papua; Di Jayapura, Sorong, Wamena, Paniai, Dogiyai Deyai Nabire Serui, Biak, Manukwari, Merauke dan di Yahukimo yang berujung pada jatuhnya Korban jiwa. Diluar Papua; Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang-Sala tiga, Surabaya, Malang, Jember, Bali, Makasar, Ambon, Ternate, Kupang dan Ambon.

Tentu, rakyat Papua menyadari bahwa Pemekaran tiga Provinsi dan Papua Baarat daya sudah direncanakan sebelum berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 (yang kini sudah diubah menjadi pasal 76 UU No. 2 Tahun 2021). Bahwa produk UU tersebut merupakan bagian dari produk penjajahan bagi orang Papua. Oleh karena itu mengapa pembahasan RUU tentang DOB dan sebelumnya disepakati secara sepihak. Manfaatnya untuk mempertahankan kekuasaan penjajahan Indonesia di West Papua.

Tentu, rakyat Papua menyadari bahwa Pemekaran tiga Provinsi dan Papua Baarat daya sudah direncanakan sebelum berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 (yang kini sudah diubah menjadi pasal 76 UU No. 2 Tahun 2021). Bahwa produk UU tersebut merupakan bagian dari produk penjajahan bagi orang Papua. Oleh karena itu mengapa pembahasan RUU tentang DOB dan sebelumnya disepakati secara sepihak. Manfaatnya untuk mempertahankan kekuasaan penjajahan Indonesia di West Papua.

 Lantas rakyat Papua dengan sadar menolak Otonomi Khusus (Otsus). Sebab, Pertama, Otsus diberikan oleh Jakarta untuk meredam gerakan rakyat Papua menuntut kemerdekaan bagi Bangsa West Papua, saat itu.

Kedua, berdasarkan UU Otsus Papua Jilid II Jakarta mempermudah proses pemekaran Provinsi Papua Barat, serta perluas Kota/Kabupaten, Distrik, dan seterusnya. Akibatnya banyak terjadi polarisasi. Kemudian, dinamika demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Papua sudah sangat jauh bergeser ke politik Identitas berdasarkan warna kulit, Gunung Pantai, Suku, Marga, hingga Kelompok berdasarkan kepentingan. Maka dengan adanya Daerah Pemekaran Baru (DOB), justru persaingan akan masif dari kondisi sebelumnya. Lantas nasib orang Papua yang jumlah populasinya sangat sedikit dari non-Papua di Papua akan dihadapkan dengan konflik justru mengalami perpecahan.

Ketiga, disisi lain, realita keberadaan orang Papua sangat jauh dari kata sejahtera. Kondisi rakyat Papua di sektor kesehatan dan gizi buruk terus meningkat; lalu buta huruf dan buta aksara paling tinggi di wilayah penghasil Emas dan Migas paling banyak di Indonesia itu. Kemudian kemiskinan juga paling tinggi. Ironisnya Kabupaten Timika merupakan contoh salah satu kota termiskin di Papua. Padahal PT. Freeport berada di Kabupaten Timika. Dan Masih banyak lagi persoalan-persoalan di berbagai sektor.

 Empat, marginalisasi merupakan salah satu bentuk penjajahan di West Papua. Dari jumlah orang Papua yang sedikit menemukan problem ketersediaan tenaga produktif manusia Papua yang mengisi di semua lini kehidupan suatu daerah pemekaran. Kondisi penjajahan ini berakibat pada lambatnya perkembangan sumber daya manusia Papua.

Lima, Pemekaran akan membuka penambahan markas militer (TNI/Polri) di Papua. Sebab pemerintah Indonesia yang masih menggunakan pendekatan militeristik Papua sampai saat ini. Sepanjang tahun 1962-2004, paling sedikit 500 ribu jiwa rakyat Papua yang meninggal dalam 15 kali rentetan operasi militer dalam skala besar. Kemudian dalam 4 tahun terakhir operasi militer terjadi di beberapa daerah. 2019-2020 Operasi Militer pecah di Nduga. Selanjutnya di Puncak Jaya, Intan Jaya, Yahukimo, Kiriwok, dan di Aifat, Sorong. Operasi militer tersebut berdampak banyak kerugian dan kehilangan bagi warga sipil: Pengungsian, Teror, Pelanggaran HAM, kehilangan rumah, ternak, kebun serta harta benda lainya. Ditengah situasi kornis, pembetasan akses jurnalis Internasional pun masih terus dilakukan. Papua merupakan pulau angka kematiannya paling tinggi, salah satu penyebabnya adalah mati karena dibunuh oleh aparat Militer/(TNI-Polri). Kematian dalam jumlah yang banyak juga diakibatkan karena, selain gisi buruk, sakit penyakit, tabrak lari, rentetan musim kelaparan dan lain sebagainya.

Enam, Pemekaran Daerah Operasi Baru (DOM) hanya akan diuntungkan bagi pemodal. Sebab pemekaran merupakan salah satu syarat bagi pemodal di Papua. Misalnya, pembangunan jalan, infrastruktur kota serta aset vital lainnya seperti pembangunan pelabuhan, bandara Udara, jalan trans, pembukaan dusun-dusun yang dianggap daerah terisolasi. Syarat-syarat ini sangat dibutuhkan guna mendukung percepatan proses angkut barang mentah di Papua untuk memajukan proses produksi barang jadi milik Kapital Internasional. Dalam sejarah rakyat Papua akses modal terutama Freeport Mc Moran menjadi semangat pencaplokan Papua ke dalam NKRI secara Paksa. Peristiwa Pemaksaan ini menjadi akar masalah sejarah masa lalu bagi orang Papua.

Akar masalah inilah yang mesti diselesaikan. Perpanjangan Otsus Papua Jilid II dan Pemekaran Provinsi (DOB) tidak akan pernah menyelesaikan seluruh persoalan rakyat Papua.

Maka dari itu kami mahasiswa Papua NTT menolak dengan tegas DOB, OTSUS II dan segera meluruskan fakta sejara yang pernah teradi pasca 1961-1969.

Rabu, 01 Desember 2021

Pernyataan sikap FRONT RAKYAT UNTUK WEST PAPUA (FR-WP)

Foto ; Orang Papua dan solidaritas nasional untuk Papua 


Pernyataan Sikap

Front Rakyat untuk West Papua (FR-WP)


Demiliterisasi, Cabut Perpanjangan Otsus,
dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua!

 

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!

Tepat pada hari ini, 60 tahun lalu, sebuah momentum besar bagi sejarah rakyat West Papua terjadi. Pada 1 Desember 1961, rakyat West Papua mendeklarasikan kemerdekaannya. Kala itu, untuk pertama kalinya bendera Bintang Kejora berkibar di Kota Hollandia—kini Jayapura. Peristiwa tersebut bukanlah aksi spontan, tapi telah dilandasi dengan kesadaran kebangsaan.

Ketika West Papua masih menjadi wilayah sengketa antara Indonesia dan Belanda, tuntutan kemerdekaan rakyat West Papua sudah ada jauh sebelum Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan West Papua yang terdidik lewat sekolah polisi dan sekolah pamong praja (bestuurschool) di Hollandia, yang mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 untuk mempersiapkan kemerdekaan West Papua.

Atas desakan para politisi dan negarawan West Papua yang terdidik, maka Pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam dewan ini adalah MW Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P Torey (Ransiki/Manokwari), AK Gebze (Merauke), MB Ramandey (Waropen), AS Onim (Teminabuan), N Tanggahma (Fakfak), F Poana (Mimika), dan Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan HFW Gosewisch (mewakili Manokwari).

Setelah melakukan berbagai persiapan, disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional Papua yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea mempersiapkan kemerdekaan West Papua. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:

·   Menentukan nama negara          : Papua Barat

·   Menentukan lagu kebangsaan   : Hai Tanahku Papua

·   Menentukan bendera negara      : Bintang Kejora

·   Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961

·   Lambang negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”

Akan tetapi, deklarasi tersebut tak diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia yang menganggapnya sebagai negara boneka buatan Belanda. Pemerintah Indonesia melalui Soekarno saat itu lantas melakukan aneksasi terhadap West Papua melalui seruan Tri Komando Rakyat (Trikora). Seruan ini dilakukan di Yogyakarta, 19 Desember 1961, yang kemudian diejawantahkan dalam serangkaian operasi militer yang menumpahkan banyak korban rakyat sipil West Papua.

Peristiwa ini tidak bisa dilepaskan dari konteks Perang Dingin yang secara langsung turut memperkeruh nasib bangsa West Papua. Amerika Serikat yang memiliki kepentingan tak kalah besar terhadap Papua (Kontak Karya Freeport 1967) akhirnya turut terlibat menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Perundingan kemudian berlangsung di New York pada 15 Agustus 1962 (New York Agreement) yang mana Amerika bertindak sebagai mediator. Perlu dicatat bahwa dalam perundingan ini tidak ada satu pun perwakilan rakyat West Papua yang terlibat. Padahal perundingan ini menyangkut keberlangsungan hidup dan nasib rakyat West Papua.

New York Agreement terdiri dari 29 pasal yang mengatur 3 hal. Pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan nasib sendiri (self-determination) yang didasarkan pada praktek internasional, yaitu satu orang satu suara (one person one vote). Pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara Persatuan Bangsa-Bangsa (UNTEA) kepada Indonesia.

Ketika Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua pada tahun 1963, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional.

Satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah Pepera yang tidak sah pada tahun 1969. Tidak sah karena hanya 1.022 orang (4 orang lainnya tidak ambil bagian) yang terlibat dalam pemungutan suara, atau kurang dari 0,2% dari populasi rakyat West Papua (800 ribu jiwa), yang dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia. Musyawarah untuk mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan Pepera yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi, serta adanya pelanggaran HAM berat. Nyatanya hasil dari pelaksanaan Pepera tersebut hanya “dicatat” di Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat Resolusi 2504 (XXIV) yang mana tidak disebutkan bahwa PEPERA telah dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement maupun prosesnya memenuhi standar “penentuan nasib sendiri” seperti yang diamanatkan oleh Resolusi PBB 1514 dan 1541 (XV). Proses integrasi yang cacat ini beriringan dengan pendekatan militeristik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru Soeharto dalam upaya “mengindonesiakan” rakyat West Papua. Serangkaian pelanggaran HAM berat terjadi, salah satu contohnya adalah Tragedi Biak Berdarah.

Kejatuhan Orde Baru kembali menggelorakan perjuangan kemerdekaan rakyat West Papua, terlebih pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meskipun Gus Dur telah melakukan hal yang lebih halus—proses integrasi yang cacat, serta berpuluh tahun penindasan dan kekerasan oleh militer Indonesia—telah terlanjur membekas dalam ingatan rakyat West Papua. Hal itu ditandai dengan tuntutan kemerdekaan yang tetap lantang. Salah satu upaya itu dilakukan dengan mengadakan Kongres Nasional II Rakyat Papua yang menetapkan Theys Eluay sebagai Presidium Dewan Papua. Theys Eluay kemudian dibunuh oleh Tim Mawar, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di bawah pimpinan Hartomo. Kematian Theys segera ditindaklanjuti pemerintah Indonesia di bawah presiden Megawati mengesahkan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus).

UU Otsus menjanjikan kedaulatan bagi rakyat West Papua yang termajinalisasi, mengobati luka lama akibat penindasan, dan mengakomodasi kehadiran partai politik lokal. Namun nyatanya janji tersebut langsung terbantah dengan adanya pembunuhan Theys Eluay. Kejadian itu membayangi UU Otsus dan menjadi peringatan akan berlanjutnya kekuasaan dan impunitas militer Indonesia. Benar saja, selama 20 tahun Otsus diterapkan tanpa memperhatikan mekanisme demokrasi yang sejati. Lembaga-lembaga pemerintahan lokal menjadi sasaran campur tangan dan pengawasan pemerintah pusat demi menyingkirkan kandidat-kandidat yang prokemerdekaan. Implementasinya pun lebih terfokus pada proyek-proyek pembangunan. Kendati UU tersebut mengklaim hendak mengangkat derajat orang West Papua yang ‘termarjinalisasi” melalui proyek-proyek pembangunan, faktanya dana proyek-proyek itu lebih sering diselewengkan. Anggaran untuk infrastruktur dan dana alokasi umum (DAU) jumlahnya dua persen dari APBN, sementara pada saat yang sama aparat keamanan meraup banyak untung dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang melimpah dengan dalih operasi kontrapemberontakan dan transmigrasi. Hal ini menyebabkan kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi secara damai terus berlanjut. Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora tetap diberlakukan, dan, tidak ketinggalan, tetap terjadi pembunuhan di luar hukum oleh TNI/Polri.

Oleh sebab itu pada 2020 organisasi-organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik mengorganisasi penolakan atas evaluasi UU Otsus dan perpanjangannya. Pada Juli 2020, terbentuklah Petisi Rakyat Papua (PRP) yang awalnya didukung oleh 16 kelompok. Mei 2021, PRP menyatakan telah menerima lebih dari 700.000 tanda tangan penolakan perpanjangan Otsus. PRP membantah klaim Jakarta yang mengatakan bahwa Otsus berhasil menyejahterakan dan mengikutsertakan orang asli West Papua dalam memerintah wilayah mereka. PRP juga menunjukkan keberatan atas meningkatnya militerisasi di West Papua dan menuntut Pemerintah Indonesia segera berhenti “mereduksi persoalan-persoalan pokok rakyat West Papua ke dalam pembahasan dana Otsus.” Mereka dan kelompok-kelompok lain keberatan atas disingkirkannya rakyat West Papua dari pembahasan Otsus. Evaluasi UU Otsus, misalnya, harus melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Pemerintah mengklaim bahwa lembaga-lembaga itu sudah representatif, tapi sebagian kalangan berpendapat bahwa kelompok-kelompok prokemerdekaan tidak dilibatkan. Kelompok-kelompok masyarakat sipil di West Papua, termasuk PRP, khawatir revisi UU itu dilangsungkan oleh elit-elit Jakarta dan disetujui tanpa pertimbangan oleh lembaga pemerintah tingkat lokal.

Terhadap proses evaluasi yang dikontrol para politisi Jakarta, kelompok-kelompok masyarakat sipil West Papua membuat penolakan dalam bentuk protes jalanan yang sering kali berujung pembubaran oleh aparat. September 2020, misalnya, ribuan orang di Nabire terlibat aksi protes yang disertai penangkapan sejumlah orang sebagaimana pernah terjadi saat gerakan antirasisme tahun 2019. Empat hari kemudian, protes yang sama berlangsung di Jayapura. Demonstrasi ratusan mahasiswa dibubarkan secara paksa oleh aparat yang personelnya jauh lebih banyak dari massa aksi dan aparat melepaskan tembakan ke arah halaman universitas. Di sebuah protes serupa di Jayapura beberapa bulan berikutnya, seorang massa aksi mahasiswa bernama Matias Suuh tertembak dan tiga belas mahasiswa lainnya ditangkap. April 2021, sebuah aksi protes besar rencananya akan digelar di Deiyai, wilayah Pegunungan Tengah. Polisi dan tentara, yang jumlahnya lebih banyak dari massa aksi, mencegah aksi itu digelar. Aparat keamanan berdalih khawatir akan terjadi pertumpahan darah jika aksi tetap berlangsung. Agustus 2019, enam orang tewas tertembak di Deiyai saat aksi Gerakan West Papua Melawan.

Keprihatinan atas tindakan keras terhadap penyampaian pendapat di muka umum, yang disuarakan dalam surat bersama Pelapor Khusus PBB, ditanggapi Pemerintah Indonesia dengan mengatakan bahwa tindakan keras terhadap demonstrasi tolak Otsus dilakukan demi menghindari penyebaran Covid-19. Namun, Pemerintah juga mengamini tindakan itu dilakukan karena ada unsur “separatisme”. Karenanya, pihak berwenang menggunakan pandemi sebagai dalih pembubaran aksi protes dan mempercepat pembahasan UU Otsus sambil menumpas kubu yang menolak.

Sejak pemilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir tahun 2014, militer dibiarkan terus mengakumulasi lebih banyak kekuasaan dan anggaran dengan melanggengkan struktur komando teritorial yang mengizinkannya mengakses SDA—secara legal maupun ilegal. Sejak lama, militer Indonesia terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal di West Papua, termasuk di usaha penebangan kayu dan pengamanan perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan, yang juga disertai penggusuran orang-orang West Papua dari tanahnya. Militer juga merupakan penerima alokasi dana Otsus dalam jumlah yang besar, dua per persen dari anggaran nasional Indonesia, serta dana pembangunan, dan dana infrastruktur. Bupati-bupati terpilih memiliki anggaran yang bisa diakses militer untuk melakukan operasi militer melawan dugaan ancaman pemberontak di West Papua. Kendati dengan biaya yang besar, operasi-operasi ini kadang dilakukan secara tidak efisien dan tidak efektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah operasi-operasi militer melawan pemberontakan tersebut sebenarnya untuk memenuhi tujuan yang kerap pemerintah nyatakan atau tidak lebih dari sumber pendapatan lain bagi militer?

Presiden Jokowi mengizinkan militer memperluas struktur teritorialnya dengan membangun dua komando daerah militer (kodam) baru, salah satunya di Provinsi Papua Barat. Pihak militer mengklaim bahwa hal ini diperlukan dalam rangka melawan gerakan perlawanan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Namun, TPNPB tidak hadir dalam jumlah yang signifikan di Provinsi Papua barat. Tampaknya militer tengah berusaha menjustifikasi penambahan struktur komando teritorial yang bisa membuat mereka terus melanggengkan kepentingan bisnisnya.

Jokowi juga mengizinkan militer melanjutkan rencana pembangunan Jalan Raya Trans-Papua. Jokowi dikabarkan meyakini proyek itu perlu diselesaikan, setelah melakukan kunjungan tahun 2015 dan merasa kesulitan mengakses Nduga, kabupaten yang baru dibentuk tahun 2008 dan salah satu daerah paling tertinggal di West Papua. Kementerian Pertahanan menyediakan dana APBN untuk proyek ini. Korps Zeni Angkatan Darat (Pusziad atau Zeni) telah mengerjakan 10 persen sisa pembangunan jalan raya sepanjang 4.320 km tersebut. Beberapa orang mengakui bahwa jalan ini bisa mengurangi biaya transportasi ke Pegunungan Tengah, tapi jalan itu juga telah memfasilitasi kehadiran militer dalam jumlah banyak di Pegunungan Tengah dan membawa pendatang non-Papua yang mendominasi perekonomian di kota-kota kecil seperti Wamena. Jalan-jalan ini selanjutnya memungkinkan militer memberlakukan pembatasan terhadap pergerakan warga sipil dengan mendirikan pos-pos pemeriksaan militer.

Penahanan oleh aparat keamanan, yang dalam prosesnya sering kali terdapat penyiksaan, merupakan strategi untuk memperkuat kekuasaan militer atas wilayah-wilayah yang beberapa di antaranya lahir melalui pemekaran. Di daerah seperti Kabupaten Nduga, aparat keamanan adalah hal paling menonjol dari negara Indonesia, terlebih lagi koordinasi instansi pemerintah sipil tidak memadai. Keberadaan militer dan polisi yang mencolok telah menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat sipil. Tidak ada cara yang sederhana untuk mengukur efek pendudukan militer. Insiden kekerasan, termasuk penyiksaan, pelecehan dan intimidasi serta pelanggaran lain, misalnya, tidak dapat dipertanggungjawabkan hanya dengan mengandalkan statistik angka kematian: kematian tidak selalu dicatat karena akses ke Pegunungan Tengah sangat sulit dan sering kali tidak memungkinkan atau tidak diizinkan tanpa didampingi aparat keamanan. Para menteri pemerintah pun secara terbuka menyangkal fakta adanya kematian warga sipil yang disebabkan operasi aparat keamanan di Pegunungan Tengah.

Militerisasi di Papua sudah pada level yang teramat memprihatinkan dan telah terbukti gagal menghentikan bahkan memperburuk eskalasi kekerasan di tanah Papua. Bahkan hal ini juga sudah disadari, salah satunya, oleh Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono. Dikutip dari Majalah Tempo beberapa waktu lalu, ia menyatakan mendukung pendekatan dialog untuk mengatasi konflik di Papua dan melakukan kontak tembak, tapi dengan syarat dialog itu tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Serangkaian penjelasan di atas dapat menyimpulkan bahwa akar permasalahan yang terjadi di West Papua adalah cacatnya sejarah integrasi. Kondisi ini kemudian membuahkan praktek militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM (pembunuhan di luar hukum, penangkapan, penyiksaan, pembungkaman kebebasan berpendapat), penyingkiran Orang Asli Papua (OAP), dan kerusakan lingkungan. Karenanya diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri. Tentu dengan tidak mengesampingkan demiliterisasi di Papua terlebih dahulu.

Maka, dalam rangka peringatan 60 Tahun Hari Deklarasi Kemerdekaan Bangsa West Papua Front Rakyat Untuk West Papua ( FR-WP ),menyatakan sikap politik sebagai berikut:

1.     Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua

2.     Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II

3.     Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua

4.     Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua

5.     Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia

6.     Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat

7.     Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang

8.     Usut tuntas pelaku penembakan dua anak di Intan Jaya

9.     Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM

10.   Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri

11.   Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya

12.   Cabut Omnibus Law

13.   Belanda harus bertanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan

14.   PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua

15.   Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung

16.   Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua

17.   Usir PT. IDK ( Tambak Garam ) di Malaka

18.   Berikan Kepastian Tanah Bagi Warga Eks Tim-Tim

19.   Tolak Pembangunan Jurassic Park di Pulau Komodo

20.   Kembalikan Tanah Adat Masyarakat Pubabu Besipae

21.   Wujudkan Pendidikan Gratis , Ilmiah dan Demokratis

 

Demikian pernyataan sikap ini dibuat. Kami menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri. Juga penting kami sampaikan pada rakyat Indonesia, West Papua, dan dunia, mari kita bersama-sama bersatu untuk mengakhiri penipuan sejarah dan penderitaan di yang ada di Tanah West Papua.

Medan Juang, 1 Desember 2021

 

Panjang Umur Pembebasan Bangsa Papua Barat.

Selasa, 30 November 2021

Kamis, 30 September 2021

Pernyataan Sikap Aliansi Mahasiswa Papua Dan Pembebasan Kota Kupang Untuk HAM DAN DEMOKRASI

Foto : Pembebasan Kupang dan AMP

“Roma Agreement Ilegal, Bebaskan Victor F Yeimo, Hentikan Operasi Militer Di Seluruh Teritori West Papua Dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua”

Perjanjian Roma yang ditandatangani oleh Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat merupakan perjanjian yang sangat kontroversial dengan 29 pasal yang mengatur dalam perjanjian New York, yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA kepada Indonesia.


Sehingga, berdasarkan perjanjian tersebut, klaim Indonesia atas tanah Papua sudah dilakukan pasca penyerahan kekuasan Wilayah Papua Barat dari tangan Belanda kepada Indonesia melalui Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) pada 1 Mei 1963. Selanjutnya Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib sendiri dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia.

Perjanjian Roma di adakan di Italy oleh karna itu di sebut Perjanjian Roma karena ada beberapa Negara, dan yang Paling Menonjolkan rasa tidak setuju dari Perwakilan Italy telah membatalkan Perjanjian New york. di lihat dari Suku Bangsa yang Berbeda ( Rumpun ) Referendum atau Act of Free Choice yang ditetapkan untuk 1969 dalam Perjanjian New York Agustus 1962. Untuk menjadi tertunda atau mungkin dibatalkan dan hasil nya Perjanjian Roma yang berlaku sampai saat ini dan belum ada peristiwa lain yang membatalkan Perjanjian Roma.

Indonesia memerintah Papua Barat selama dua puluh lima tahun (25) efektif dari pertama bulan Mei, 1963. Tetapi Indonesia Trus Menyebar kan kabar bohong/tipu, dan Publikasikan Pepera ke Masyarakat Papua Barat Bahwa semua nya sudah final di Perjanjian New york yang melahirkan Pepera tersebut, Metode yang akan digunakan dalam pelaksanaan Pepera atau Referendum akan menjadi “sistem musyawarah” sesuai dengan praktek Parlemen Indonesia.

Laporan akhir PBB mengenai pelaksanaan Pepera disampaikan kepada Majelis Umum PBB akan diterima tanpa debat terbuka. Negara Serikat bertanggung jawab untuk melakukan investasi melalui Perusahaan Negara Indonesia untuk Eksplorasi mineral, minyak bumi dan sumber daya lainnya dari Papua Barat.

Maka rakyat papua menganggap new York agreement dan roma agreement ilegal diatas tanah papua, karena rakyat papua sama sekali tidak dilibatkan sebagai subjek dan objek pemilik tanah leluhurnya dalam perjanjian-perjanjian tersebut Untuk melanggengkan perjanjian-perjanjian ilegal. negara indonesia terus melakukan invasi militer besar-besaran ke papua dengan alasan menjaga kedamaian. namun di balik itu TNI Polri justru melakukan pelanggaran Ham dan melindungi perusahaan-perusahaan yang melakukan eksplorasi.

Perilaku tidak profesional dan sewenang-wenang oleh TNI Polri terhadap rakyat west papua yang menuntut Hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi paling demokratis dan bermartabat untuk menuntaskan persoalan konflik kemanusiaan yang berkepanjangan di papua selama ini, diperhadapkan dengan Praktek-praktek kekerasan, intimidasi, pembungkaman ruang demokrasi, penangkapan diluar prosedur hukum bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh TNI Polri. ini merupakan perilaku yang tidak manusiawi, mencederai hukum dan demokrasi di indonesia.

Penangkapan terhadap Vicrot F Yeimo dan aktivis lainnya di west papua menandakan sifat buruk pemerintah indonesia melalui TNI Polri. intimidasi, dan praktek-praktek kekerasan lainnya merupakan upaya untuk meredam gerakan rakyat papua yang bertujuan untuk mendapatkan hak sipil dan politik. 

Penjajahan yang dilakukan oleh elit birokrasi dan militer Indonesia semenjak 1961, melahirkan perlawanan rakyat West Papua dengan membangun berbagai gerakan-gerakan yang sesuai dengan mekanisme hukum dan demokrasi di Indonesia. Semangat perlawanan rakyat West Papua timbul dari berbagai bentuk kekerasan, pelanggaran HAM, Kejahatan Kemanusiaan yang dilakukan oleh Militer Indonesia selama Bangsa West Papua hidup dibawah bingkai NKRI. Belum lagi, kekayaan alam (emas, uranium, tembaga, minyak bumi, dll) dan tanah-tanah adat mereka dirampas untuk kepentingan pemodal asing.

 operasi militer secara ilegal di Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua, Maybrat, pegunungan bintang dan beberapa wilayah Papua lainnya membuat rakyat West Papua mengungsi ke dalam hutan. Banyak warga yang meninggal karena kelaparan dan penyakit selama pengungsian. Kini aktivitas rakyat West Papua dalam mempertahankan hidup terhambat akibat operasi dan pendudukan oleh militer atas rumah-rumah, gedung sekolah, rumah sakit, bahkan kini militer sudah menguasai sampai pada pekerjaan proyek-proyek jalanan dan jembatan.

perjuangan rakyat West Papua untuk menentukan Nasib sendiri selalu dilabeli dengan tindakan yang makar/saparatis. Sehingga dengan alasan itu, rakyat papua dibantai hingga dibunuh. padahal Perjuangan rakyat West Papua dilandasi oleh Hukum Internasional dan Nasional Indonesia.


Sehingga dengan melihat berbagai persoalan sejarah yang jauh dari nilai kamanusiaan dan demokrasi Kami menuntut : 


  1. Hentikan penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivis papua

  2. Bebaskan Victor F. Yeimo Tanpa syarat

  3. Mengutuk keras terhadap pelaku penangkapan Viktor F. Yeimo yang tidak sesuai prosedur hukum    

  4. Segerah tarik militer organik dan non organik dari seluruh terytori west papua

  5. Hentikan pengiriman militer ke tanah west papua  

  6. Segera tangkap dan adili pelaku pelanggaran HAM di Papua dan Indonesia.

  7. Jamin kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi dan menyampaikan pendapat dimuka umum.

  8. Lawan Pelabelan Teroris Terhadap Bangsa West Papua.

  9. Tolak Otsus Jilid-II dan daerah otonom baru

  10. Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri,Bagi Bangsa West Papua Sebagai Solusi Demokratis.


Salam Pembebasan Nasional Papua Barat

Amolongo, nimo, koyao, koha, amakanie, kinaonak, nare, yepmum, dormum, tabea mufa, walak, foi moi, wainambe, nayaklak, 

wawawawawawa....wa...wa...wa...wa

Medan Juang ,30/9/2021


Jumat, 24 September 2021

Rakyat Bersatu Gulingkan Rezim Perampas Tanah Rakyat Miskin

Foto : Rakyat Tertindas


Oleh : GERAM TANI NTT

Cikal bakal peringatan Hari Tani Nasional (HTN) merupakan suatu proses perjuangan panjang dari seluruh petani Indonesia atas ketimpangan persoalan perampasan lahan di masa kolonialisme. Penetapan tanggal 24 September sebagai momentum besar bagi petani dan seluruh elemen rakyat tertindas Indonesia melalui Keputusan Presiden Soekarno No. 169/1963 tentang HTN sekaligus mengenang pengesahan UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang mengatur bahwa SDA diperuntukannya untuk kesejahteraan seluruh rakyat tertindas Indonesia, sehingga sejak mulai ditetapkannya hari besar bagi petani, semua elemen rakyat tertindas pun ikut memperingatinya, mulai dari diskusi-diskusi, pembagian pamflet, panggung kerakyatan, hingga demonstrasi. Sepanjang tahun 2020 tercatat telah terjadi 241 letusan konflik agraria akibat praktik-praktik perampasan tanah dan penggusuran. Konflik tersebut tersebar di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar. Letusan-letusan konflik tersebut terjadi di Sektor Perkebunan sebanyak 122, Kehutanan 41, pembangunan infrastruktur 30, Bisnis properti 20, Pertambangan 12, Fasilitas militer 11, Pesisir dan Pulau-pulau kecil 3, dan Agribisnis 2 sebanyak konflik.


Dari 241 konflik diatas, sebanyak 69%-nya terjadi di dua sektor klasik, yaitu Perkebunan, berdasarkan pemilikan badan usaha, konflik akibat Perkebunan BUMN sebanyak 12 kasus dan perkebunan swasta sebanyak 106 kasus, sementara sektor kehutanan, terjadi akibat aktivitas perusahaan-perusahaan HTI sebanyak 34 konflik, hutan lindung 6 konflik, dan perusahaan HPH sebanyak 1 konflik. Lima besar provinsi dengan letusan konflik agraria terbanyak terjadi di Riau 29 konflik, Jambi 21, Sumatra Utara 18, Sumatra Selatan 17 dan NTT 16 konflik. Konflik tersebut disusul dengan tindakan kriminalisasi dan penganiayaan terhadap rakyat miskin sebanyak 134 kasus yang juga mengorbankan perempuan.


Pengesahan regulasi seperti Omnibus Law dan aturan turunan lainnya pun tidak pro terhadap kepentingan seluruh rakyat tertindas. Sementara eksploitasi SDA di wilayah Papua Barat setiap tahun terus meningkat, hal ini tidak terlepas dari kriminalisasi oleh aparat TNI-Polri terhadap Orang Asli Papua, yang mengakibatkan hilangnya akses untuk bertani dan beternak akibat kepentingan Negara melalui pembangunan infrastruktur, perkebunan sawit, pertambangan, proyek food estate, dan jenis investasi lainnya terus bergulir dalam menjawab skema kepentingan ekonomi politik kapitalisme.
Selain itu, kasus rasialisme dan mobilisasi Militer terus ditumbuhsuburkan oleh Negara sebagai konkritnya politik pecah belah terhadap persatuan perlawanan rakyat West Papua, dengan tujuan memukul mundur gerakan rakyat melalui intimidasi, teror, penangkapan paksa, hingga pemenjaraan.


Dari beberapa runutan persoalan singkat diatas, kami dari aliansi GERAM TANI NTT menuntut:


1. Segera selesaikan persoalan tanah WNI eks Tim-Tim.

2. Segera kembalikan hak tanah ulayat masyarakat Besipae.

3. Tolak pembangunan jurasick park di pulau Komodo.

4. Segera cabut ijin pembangunan tambak garam malaka dan tutup PT IDK.

5. Tarik TNI-POLRI dari tanah West Papua.

6. Tutup PT Freeport dan tolak seluruh perusahaan.

7. Segera bebaskan Viktor Yeimo dan seluruh tapol Papua.

8. Berikan Hak Menetukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua sebagai solusi demokratis.

9. Cabut Omnimbus Law.

10. Segera sahkan RUU PKS dan tolak revisi RUU PKS oleh DPR.

11. Segera sahkan RUU Masyarakat Adat.

12. Segera sahkan RUU PRT.

13. Stop perampasan tanah dan hutan adat untuk kepentingan investasi.

14. Berikan upah layak jaminan K3 dan stop PHK masal.

15. Wujudkan jaminan pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis.



“HANCURKAN KAPITALISME, IMPERIALISME, KOLONIALISME, DAN MILITERISME”