Oleh : Nuelft
Di Bawah Bayang Kapitalisme
Di tanah yang subur, di bawah langit biru,
Papua berdiri, dengan semangat yang tak pernah pudar.
Namun kini, bayang kapitalisme datang menghampiri,
Menghancurkan hutan, merenggut tanah air mereka.
Dari pegunungan tinggi hingga lembah yang dalam,
Mereka menyaksikan tambang emas, hutan yang gundul,
Pohon-pohon yang dulu tumbuh di tanah leluhur,
Kini tumbang, dibawa arus kerakusan yang tak terhingga.
Wajah-wajah yang dulu riang, penuh cerita,
Kini tertutup debu, kehilangan arah.
Pabrik-pabrik menjulang, mengubah wajah desa,
Mereka menjadi bayang-bayang di negeri sendiri,
Populasi berkurang, sejarah mereka tergerus.
Orang-orang Papua, penjaga alam ini,
Tertinggal dalam dunia yang dijual untuk keuntungan.
Ladang mereka digantikan dengan batu bara,
Hutan mereka menjadi papan skor bagi korporasi.
Kesejahteraan hanyalah mimpi di balik besi dan beton,
Kapitalisme datang dengan senyum palsu,
Janji kemakmuran, namun kebebasan hilang,
Tanah yang mereka pijak kini milik yang lain.
Di bawah bayang kapitalisme, Papua tersingkir,
Tertindas, namun tetap bertahan,
Karena tanah dan darah kami tak akan hilang,
Meski suara kami sering kali tenggelam.
Wahai Papua, tanah yang merdeka,
Kami menyaksikan, kami mendengar,
Meski negara menghapus sejarah kami,
Kami tetap berada pada jalur kebenaran
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lahan yang Tertukar
Di bawah langit tropis yang biru,
Merauke, tanah yang dulu bebas,
Kini terluka, diterjang beton dan besi,
Oleh arus kapitalisme yang datang tanpa izin.
Ladang padi, hutan lebat, dan sungai yang jernih,
Menjadi saksi bisu akan janji palsu,
Tanah yang subur, kini tergerus,
Diambil, dijual, digusur untuk keuntungan besar.
Perusahaan besar datang dengan senyum manis,
Menawarkan pembangunan, katanya untuk kemajuan,
Tapi yang dibangun hanya kekayaan bagi segelintir orang,
Sementara rakyat terabaikan, tanah mereka hilang.
Hutan yang dulu menari bersama angin,
Sekarang menjadi lahan perkebunan sawit dan kelapa,
Ditanam oleh tangan yang tak mengenal cinta,
Dijual ke pasar dunia, tanpa suara rakyat yang menangis.
Orang Merauke, penjaga tanah leluhur,
Melihat tanah mereka berpindah tangan,
Tanpa ada yang bertanya,
Tanpa ada yang mendengar jeritan mereka.
Di balik kata "kemajuan" dan "investasi,"
Ada penderitaan yang tersembunyi,
Ada anak-anak yang tak lagi mengenal hutan,
Ada nenek moyang yang tergantung pada tanah yang kini tercuri.
Kapitalisme datang seperti badai,
Membawa perubahan tanpa ampun,
Merauke yang dulu damai, kini terpecah,
Di bawah kaki perusahaan yang tak tahu arti keadilan.
Wahai Merauke, tanah yang terampas,
Apakah kami akan terus diam?
Di mana suara hakmu?
Kapan tanahmu kembali pada pemiliknya?
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanah yang Tak Lagi Milik Kami
Dulu, tanah ini milik kami,
Dibajak oleh tangan nenek moyang,
Hutan yang lebat, laut yang luas,
Sumber kehidupan, berkah yang tak ternilai.
Namun, di bawah bendera kapitalisme,
Datanglah mereka dari luar,
Dengan janji-janji kemajuan,
Menukarkan tanah subur ini dengan utang dan harapan kosong.
Transmigrasi—sebuah kata yang tak pernah kami pahami,
Menggunduli tanah-tanah kami,
Membawa ribuan orang ke sini,
Menciptakan ruang baru, tapi melupakan kami yang sudah ada.
Dari Jawa, Sumatra, Bali, dan pulau-pulau jauh,
Mereka datang, mencari kehidupan baru,
Diberikan tanah, rumah, dan harapan,
Sementara kami, pemilik sejati, terpinggirkan.
Kapitalisme berbisik di telinga para penguasa,
"Membangun, menguasai, memperkaya,"
Di balik kata pembangunan,
Ada tanah yang kami cintai,
Yang kini terjual dalam bentuk kebijakan.
Sawah dan ladang yang dulu kami garap,
Kini dikelola oleh tangan asing,
Bukan tangan kami yang sudah menanam sejak dulu,
Tanah kami yang dulu hijau kini disulap menjadi kebun,
Diperuntukkan bagi pasar dunia,
Bukan lagi untuk anak-anak kami yang lahir di sini.
Wajah kami semakin sedikit,
Di tengah lautan orang asing yang datang,
Transmigrasi telah mengubah wajah kami,
Tapi tak mengubah nasib kami yang terus terpinggirkan.
Tanah Papua, tanah kami,
Apakah kau akan terus tergerus?
Berapa lama lagi kami bisa bertahan,
Sebelum tanah ini hanya menjadi kenangan?
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Suara yang Terbungkam di Tanah Papua
Di bawah langit Papua yang luas,
Tanah ini dulu berbicara,
Suara nenek moyang bergema di setiap lembah,
Hutan, sungai, dan gunung adalah saksi,
Tentang hidup yang seimbang dengan alam.
Namun kini, tanah itu diam,
Suara-suara yang dulu berani,
Kini hanya bisikan yang tenggelam,
Terbungkam dalam bayang kapitalisme.
Batu bara dan sawit datang membawa janji,
Kata-kata manis tentang kemajuan dan kekayaan,
Tapi yang datang adalah kesedihan,
Hutan yang rimbun menjadi gundul,
Tanah yang subur menjadi lahan korporasi.
Orang Papua menunduk,
Tak lagi ada yang berani bersuara,
Tak ada lagi jeritan yang menggema,
Karena mereka takut,
Takut kehilangan tanah yang masih tersisa,
Takut menghadapi kekuatan yang lebih besar.
Kapitalisme datang dengan uang dan senyum,
Menghancurkan harapan yang ada,
Tangan-tangan yang dulu menggenggam tanah,
Kini hanya terulur dalam ketidakberdayaan,
Karena suara mereka tak akan didengar
Di dunia yang sudah dijual.
Mereka tahu tanah ini telah dibajak,
Tapi mereka tak bisa melawan,
Hanya bisa diam,
Menatap tanah mereka yang semakin hilang,
Tak ada lagi yang berani berkata,
Karena kapitalisme sudah menanamkan rasa takut.
Di tanah yang dulu penuh hidup,
Sekarang hanya ada keheningan,
Suara-suara itu terbungkam oleh emas dan beton,
Orang Papua, apakah kau tak lagi mengenal suaramu?
Ataukah kapitalisme telah menghapus keberanianmu,
Di tanah yang seharusnya tetap milikmu?
0 Post a Comment:
Posting Komentar