Front Rakyat untuk West Papua (FR-WP)
Salam Pembebasan Nasional Bangsa
West Papua!
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum,
Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!
Tepat pada hari ini, 60 tahun
lalu, sebuah momentum besar bagi sejarah rakyat West Papua terjadi. Pada 1
Desember 1961, rakyat West Papua mendeklarasikan kemerdekaannya. Kala
itu, untuk pertama kalinya bendera Bintang Kejora berkibar di Kota
Hollandia—kini Jayapura. Peristiwa tersebut bukanlah aksi spontan, tapi telah
dilandasi dengan kesadaran kebangsaan.
Ketika West Papua masih
menjadi wilayah sengketa antara Indonesia dan Belanda, tuntutan kemerdekaan
rakyat West Papua sudah ada jauh sebelum Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan West Papua
yang terdidik lewat sekolah polisi dan sekolah pamong praja (bestuurschool) di Hollandia, yang
mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 untuk mempersiapkan kemerdekaan West
Papua.
Atas desakan para politisi
dan negarawan West Papua yang terdidik, maka Pemerintah Belanda membentuk Nieuw
Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk
dalam dewan ini adalah MW Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk
Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P Torey (Ransiki/Manokwari), AK
Gebze (Merauke), MB Ramandey (Waropen), AS Onim (Teminabuan), N Tanggahma
(Fakfak), F Poana (Mimika), dan Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian
wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia)
dan HFW Gosewisch (mewakili Manokwari).
Setelah melakukan berbagai
persiapan, disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan
Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional Papua yang beranggotakan
21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea mempersiapkan kemerdekaan West
Papua. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan
dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:
· Menentukan
nama negara : Papua Barat
· Menentukan
lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua
· Menentukan
bendera negara : Bintang Kejora
· Menentukan
bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961
· Lambang
negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”
Akan tetapi, deklarasi
tersebut tak diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia yang menganggapnya
sebagai negara boneka buatan Belanda. Pemerintah Indonesia melalui Soekarno
saat itu lantas melakukan aneksasi terhadap West Papua melalui seruan Tri
Komando Rakyat (Trikora). Seruan ini dilakukan di Yogyakarta, 19 Desember 1961,
yang kemudian diejawantahkan dalam serangkaian operasi militer yang menumpahkan
banyak korban rakyat sipil West Papua.
Peristiwa ini tidak bisa
dilepaskan dari konteks Perang Dingin yang secara langsung turut memperkeruh
nasib bangsa West Papua. Amerika Serikat yang memiliki kepentingan tak kalah
besar terhadap Papua (Kontak Karya Freeport 1967) akhirnya turut terlibat
menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Perundingan kemudian
berlangsung di New York pada 15 Agustus 1962 (New York Agreement) yang mana Amerika bertindak sebagai mediator.
Perlu dicatat bahwa dalam perundingan ini tidak ada satu pun perwakilan rakyat
West Papua yang terlibat. Padahal perundingan ini menyangkut keberlangsungan
hidup dan nasib rakyat West Papua.
New York Agreement terdiri dari 29 pasal yang
mengatur 3 hal. Pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan nasib sendiri (self-determination) yang didasarkan
pada praktek internasional, yaitu satu orang satu suara (one person one vote). Pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi
dari Badan Pemerintahan Sementara Persatuan Bangsa-Bangsa (UNTEA) kepada
Indonesia.
Ketika Indonesia mengambil
alih tanggung jawab administratif atas West Papua pada tahun 1963, teritori itu
tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan
nasib sendiri di bawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam
New York Agreement yang menguatkan
fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua.
Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa
bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui
penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum
internasional.
Satu-satunya penentuan nasib
sendiri yang dilakukan adalah Pepera yang tidak sah pada tahun 1969. Tidak sah
karena hanya 1.022 orang (4 orang lainnya tidak ambil bagian) yang terlibat
dalam pemungutan suara, atau kurang dari 0,2% dari populasi rakyat West Papua
(800 ribu jiwa), yang dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia.
Musyawarah untuk mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan Pepera yang
tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi, serta adanya
pelanggaran HAM berat. Nyatanya hasil dari
pelaksanaan Pepera tersebut hanya “dicatat” di Sidang Umum Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) lewat Resolusi 2504 (XXIV) yang mana tidak disebutkan bahwa
PEPERA telah dilaksanakan sesuai dengan New
York Agreement maupun prosesnya memenuhi standar “penentuan nasib sendiri”
seperti yang diamanatkan oleh Resolusi PBB 1514 dan 1541 (XV). Proses integrasi
yang cacat ini beriringan dengan pendekatan militeristik yang dilakukan oleh
rezim Orde Baru Soeharto dalam upaya “mengindonesiakan” rakyat West Papua.
Serangkaian pelanggaran HAM berat terjadi, salah satu contohnya adalah Tragedi
Biak Berdarah.
Kejatuhan Orde Baru kembali
menggelorakan perjuangan kemerdekaan rakyat West Papua, terlebih pada masa
kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meskipun Gus Dur telah
melakukan hal yang lebih halus—proses integrasi yang cacat, serta berpuluh
tahun penindasan dan kekerasan oleh militer Indonesia—telah terlanjur membekas
dalam ingatan rakyat West Papua. Hal itu ditandai dengan tuntutan kemerdekaan
yang tetap lantang. Salah satu upaya itu dilakukan dengan mengadakan Kongres
Nasional II Rakyat Papua yang menetapkan Theys Eluay sebagai Presidium Dewan
Papua. Theys Eluay kemudian dibunuh oleh Tim Mawar, Komando Pasukan Khusus
(Kopassus) di bawah pimpinan Hartomo. Kematian Theys segera ditindaklanjuti
pemerintah Indonesia di bawah presiden Megawati mengesahkan Undang-Undang
Otonomi Khusus (UU Otsus).
UU Otsus menjanjikan
kedaulatan bagi rakyat West Papua yang termajinalisasi, mengobati luka lama
akibat penindasan, dan mengakomodasi kehadiran partai politik lokal. Namun
nyatanya janji tersebut langsung terbantah dengan adanya pembunuhan Theys
Eluay. Kejadian itu membayangi UU Otsus dan menjadi peringatan akan
berlanjutnya kekuasaan dan impunitas militer Indonesia. Benar saja, selama 20
tahun Otsus diterapkan tanpa memperhatikan mekanisme demokrasi yang sejati.
Lembaga-lembaga pemerintahan lokal menjadi sasaran campur tangan dan pengawasan
pemerintah pusat demi menyingkirkan kandidat-kandidat yang prokemerdekaan.
Implementasinya pun lebih terfokus pada proyek-proyek pembangunan. Kendati UU
tersebut mengklaim hendak mengangkat derajat orang West Papua yang
‘termarjinalisasi” melalui proyek-proyek pembangunan, faktanya dana
proyek-proyek itu lebih sering diselewengkan. Anggaran untuk infrastruktur dan
dana alokasi umum (DAU) jumlahnya dua persen dari APBN, sementara pada saat
yang sama aparat keamanan meraup banyak untung dari eksploitasi sumber daya
alam (SDA) Papua yang melimpah dengan dalih operasi kontrapemberontakan dan
transmigrasi. Hal ini menyebabkan kasus-kasus pembungkaman kebebasan
berekspresi secara damai terus berlanjut. Larangan pengibaran bendera Bintang
Kejora tetap diberlakukan, dan, tidak ketinggalan, tetap terjadi pembunuhan di
luar hukum oleh TNI/Polri.
Oleh sebab itu pada 2020
organisasi-organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik mengorganisasi
penolakan atas evaluasi UU Otsus dan perpanjangannya. Pada Juli 2020,
terbentuklah Petisi Rakyat Papua (PRP) yang awalnya didukung oleh 16 kelompok.
Mei 2021, PRP menyatakan telah menerima lebih dari 700.000 tanda tangan
penolakan perpanjangan Otsus. PRP membantah klaim Jakarta yang mengatakan bahwa
Otsus berhasil menyejahterakan dan mengikutsertakan orang asli West Papua dalam
memerintah wilayah mereka. PRP juga menunjukkan keberatan atas meningkatnya
militerisasi di West Papua dan menuntut Pemerintah Indonesia segera berhenti
“mereduksi persoalan-persoalan pokok rakyat West Papua ke dalam pembahasan dana
Otsus.” Mereka dan kelompok-kelompok lain keberatan atas disingkirkannya rakyat
West Papua dari pembahasan Otsus. Evaluasi UU Otsus, misalnya, harus melalui
Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Pemerintah
mengklaim bahwa lembaga-lembaga itu sudah representatif, tapi sebagian kalangan
berpendapat bahwa kelompok-kelompok prokemerdekaan tidak dilibatkan.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil di West Papua, termasuk PRP, khawatir revisi
UU itu dilangsungkan oleh elit-elit Jakarta dan disetujui tanpa pertimbangan
oleh lembaga pemerintah tingkat lokal.
Terhadap proses evaluasi yang
dikontrol para politisi Jakarta, kelompok-kelompok masyarakat sipil West Papua
membuat penolakan dalam bentuk protes jalanan yang sering kali berujung
pembubaran oleh aparat. September 2020, misalnya, ribuan orang di Nabire
terlibat aksi protes yang disertai penangkapan sejumlah orang sebagaimana
pernah terjadi saat gerakan antirasisme tahun 2019. Empat hari kemudian, protes
yang sama berlangsung di Jayapura. Demonstrasi ratusan mahasiswa dibubarkan
secara paksa oleh aparat yang personelnya jauh lebih banyak dari massa aksi dan
aparat melepaskan tembakan ke arah halaman universitas. Di sebuah protes serupa
di Jayapura beberapa bulan berikutnya, seorang massa aksi mahasiswa bernama
Matias Suuh tertembak dan tiga belas mahasiswa lainnya ditangkap. April 2021,
sebuah aksi protes besar rencananya akan digelar di Deiyai, wilayah Pegunungan
Tengah. Polisi dan tentara, yang jumlahnya lebih banyak dari massa aksi,
mencegah aksi itu digelar. Aparat keamanan berdalih khawatir akan terjadi
pertumpahan darah jika aksi tetap berlangsung. Agustus 2019, enam orang tewas
tertembak di Deiyai saat aksi Gerakan West Papua Melawan.
Keprihatinan atas tindakan
keras terhadap penyampaian pendapat di muka umum, yang disuarakan dalam surat
bersama Pelapor Khusus PBB, ditanggapi Pemerintah Indonesia dengan mengatakan
bahwa tindakan keras terhadap demonstrasi tolak Otsus dilakukan demi
menghindari penyebaran Covid-19. Namun, Pemerintah juga mengamini tindakan itu
dilakukan karena ada unsur “separatisme”. Karenanya, pihak berwenang
menggunakan pandemi sebagai dalih pembubaran aksi protes dan mempercepat
pembahasan UU Otsus sambil menumpas kubu yang menolak.
Sejak pemilihan Presiden Joko
Widodo (Jokowi) pada akhir tahun 2014, militer dibiarkan terus mengakumulasi
lebih banyak kekuasaan dan anggaran dengan melanggengkan struktur komando
teritorial yang mengizinkannya mengakses SDA—secara legal maupun ilegal. Sejak
lama, militer Indonesia terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal di West Papua,
termasuk di usaha penebangan kayu dan pengamanan perusahaan-perusahaan
pertambangan dan perkebunan, yang juga disertai penggusuran orang-orang West
Papua dari tanahnya. Militer juga merupakan penerima alokasi dana Otsus dalam
jumlah yang besar, dua per persen dari anggaran nasional Indonesia, serta dana
pembangunan, dan dana infrastruktur. Bupati-bupati terpilih memiliki anggaran
yang bisa diakses militer untuk melakukan operasi militer melawan dugaan
ancaman pemberontak di West Papua. Kendati dengan biaya yang besar,
operasi-operasi ini kadang dilakukan secara tidak efisien dan tidak efektif.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah operasi-operasi militer melawan
pemberontakan tersebut sebenarnya untuk memenuhi tujuan yang kerap pemerintah
nyatakan atau tidak lebih dari sumber pendapatan lain bagi militer?
Presiden Jokowi mengizinkan
militer memperluas struktur teritorialnya dengan membangun dua komando daerah
militer (kodam) baru, salah satunya di Provinsi Papua Barat. Pihak militer
mengklaim bahwa hal ini diperlukan dalam rangka melawan gerakan perlawanan
Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Namun, TPNPB tidak
hadir dalam jumlah yang signifikan di Provinsi Papua barat. Tampaknya militer
tengah berusaha menjustifikasi penambahan struktur komando teritorial yang bisa
membuat mereka terus melanggengkan kepentingan bisnisnya.
Jokowi juga mengizinkan
militer melanjutkan rencana pembangunan Jalan Raya Trans-Papua. Jokowi
dikabarkan meyakini proyek itu perlu diselesaikan, setelah melakukan kunjungan
tahun 2015 dan merasa kesulitan mengakses Nduga, kabupaten yang baru dibentuk
tahun 2008 dan salah satu daerah paling tertinggal di West Papua. Kementerian
Pertahanan menyediakan dana APBN untuk proyek ini. Korps Zeni Angkatan Darat
(Pusziad atau Zeni) telah mengerjakan 10 persen sisa pembangunan jalan raya sepanjang
4.320 km tersebut. Beberapa orang mengakui bahwa jalan ini bisa mengurangi
biaya transportasi ke Pegunungan Tengah, tapi jalan itu juga telah
memfasilitasi kehadiran militer dalam jumlah banyak di Pegunungan Tengah dan
membawa pendatang non-Papua yang mendominasi perekonomian di kota-kota kecil
seperti Wamena. Jalan-jalan ini selanjutnya memungkinkan militer memberlakukan
pembatasan terhadap pergerakan warga sipil dengan mendirikan pos-pos
pemeriksaan militer.
Penahanan oleh aparat
keamanan, yang dalam prosesnya sering kali terdapat penyiksaan, merupakan
strategi untuk memperkuat kekuasaan militer atas wilayah-wilayah yang beberapa
di antaranya lahir melalui pemekaran. Di daerah seperti Kabupaten Nduga, aparat
keamanan adalah hal paling menonjol dari negara Indonesia, terlebih lagi
koordinasi instansi pemerintah sipil tidak memadai. Keberadaan militer dan
polisi yang mencolok telah menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat sipil.
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengukur efek pendudukan militer. Insiden
kekerasan, termasuk penyiksaan, pelecehan dan intimidasi serta pelanggaran
lain, misalnya, tidak dapat dipertanggungjawabkan hanya dengan mengandalkan
statistik angka kematian: kematian tidak selalu dicatat karena akses ke
Pegunungan Tengah sangat sulit dan sering kali tidak memungkinkan atau tidak
diizinkan tanpa didampingi aparat keamanan. Para menteri pemerintah pun secara
terbuka menyangkal fakta adanya kematian warga sipil yang disebabkan operasi
aparat keamanan di Pegunungan Tengah.
Militerisasi di Papua sudah
pada level yang teramat memprihatinkan dan telah terbukti gagal menghentikan
bahkan memperburuk eskalasi kekerasan di tanah Papua. Bahkan hal ini juga sudah
disadari, salah satunya, oleh Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayor
Jenderal Ignatius Yogo Triyono. Dikutip dari Majalah Tempo beberapa waktu lalu, ia menyatakan mendukung
pendekatan dialog untuk mengatasi konflik di Papua dan melakukan kontak tembak,
tapi dengan syarat dialog itu tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Serangkaian penjelasan di
atas dapat menyimpulkan bahwa akar permasalahan yang terjadi di West Papua
adalah cacatnya sejarah integrasi. Kondisi ini kemudian membuahkan praktek
militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM (pembunuhan di luar
hukum, penangkapan, penyiksaan, pembungkaman kebebasan berpendapat),
penyingkiran Orang Asli Papua (OAP), dan kerusakan lingkungan. Karenanya
diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak
menentukan nasib sendiri. Tentu dengan tidak mengesampingkan demiliterisasi di
Papua terlebih dahulu.
Maka, dalam rangka peringatan
60 Tahun Hari Deklarasi Kemerdekaan Bangsa West Papua Front Rakyat Untuk West Papua ( FR-WP ),menyatakan
sikap politik sebagai berikut:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri
sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua
2. Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II
3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya
di West Papua
4. Tarik militer organik dan
non-organik dari West Papua
5. Hentikan segala bentuk diskriminasi
dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia
6. Bebaskan tahanan politik West Papua
tanpa syarat
7. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh
serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan
Bintang
8. Usut tuntas pelaku penembakan dua
anak di Intan Jaya
9. Tangkap, adili, dan penjarakan
jenderal-jenderal pelanggar HAM
10. Hentikan rasisme dan politik rasial
yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri
11. Hentikan operasi militer di Nduga,
Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West
Papua lainnya
12. Cabut Omnibus Law
13. Belanda harus bertanggung jawab untuk
menuntaskan proses dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan
14. PBB harus bertanggung jawab serta
terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib
sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi
terhadap bangsa West Papua
15. Mendesak Pemerintah RI untuk
memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi
HAM di West Papua secara langsung
16. Jaminan kebebasan informasi,
berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West
Papua
17. Usir
PT. IDK ( Tambak Garam ) di Malaka
18. Berikan
Kepastian Tanah Bagi Warga Eks Tim-Tim
19. Tolak
Pembangunan Jurassic Park di Pulau Komodo
20. Kembalikan
Tanah Adat Masyarakat Pubabu Besipae
21. Wujudkan
Pendidikan Gratis , Ilmiah dan Demokratis
Demikian pernyataan sikap ini
dibuat. Kami menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di West Papua
untuk mendukung perjuangan bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri.
Juga penting kami sampaikan pada rakyat Indonesia, West Papua, dan dunia, mari
kita bersama-sama bersatu untuk mengakhiri penipuan sejarah dan penderitaan di
yang ada di Tanah West Papua.
Medan Juang, 1 Desember 2021
Panjang Umur Pembebasan Bangsa
Papua Barat.
0 Post a Comment:
Posting Komentar