Translate

Jumat, 24 September 2021

Rakyat Bersatu Gulingkan Rezim Perampas Tanah Rakyat Miskin

Foto : Rakyat Tertindas


Oleh : GERAM TANI NTT

Cikal bakal peringatan Hari Tani Nasional (HTN) merupakan suatu proses perjuangan panjang dari seluruh petani Indonesia atas ketimpangan persoalan perampasan lahan di masa kolonialisme. Penetapan tanggal 24 September sebagai momentum besar bagi petani dan seluruh elemen rakyat tertindas Indonesia melalui Keputusan Presiden Soekarno No. 169/1963 tentang HTN sekaligus mengenang pengesahan UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang mengatur bahwa SDA diperuntukannya untuk kesejahteraan seluruh rakyat tertindas Indonesia, sehingga sejak mulai ditetapkannya hari besar bagi petani, semua elemen rakyat tertindas pun ikut memperingatinya, mulai dari diskusi-diskusi, pembagian pamflet, panggung kerakyatan, hingga demonstrasi. Sepanjang tahun 2020 tercatat telah terjadi 241 letusan konflik agraria akibat praktik-praktik perampasan tanah dan penggusuran. Konflik tersebut tersebar di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar. Letusan-letusan konflik tersebut terjadi di Sektor Perkebunan sebanyak 122, Kehutanan 41, pembangunan infrastruktur 30, Bisnis properti 20, Pertambangan 12, Fasilitas militer 11, Pesisir dan Pulau-pulau kecil 3, dan Agribisnis 2 sebanyak konflik.


Dari 241 konflik diatas, sebanyak 69%-nya terjadi di dua sektor klasik, yaitu Perkebunan, berdasarkan pemilikan badan usaha, konflik akibat Perkebunan BUMN sebanyak 12 kasus dan perkebunan swasta sebanyak 106 kasus, sementara sektor kehutanan, terjadi akibat aktivitas perusahaan-perusahaan HTI sebanyak 34 konflik, hutan lindung 6 konflik, dan perusahaan HPH sebanyak 1 konflik. Lima besar provinsi dengan letusan konflik agraria terbanyak terjadi di Riau 29 konflik, Jambi 21, Sumatra Utara 18, Sumatra Selatan 17 dan NTT 16 konflik. Konflik tersebut disusul dengan tindakan kriminalisasi dan penganiayaan terhadap rakyat miskin sebanyak 134 kasus yang juga mengorbankan perempuan.


Pengesahan regulasi seperti Omnibus Law dan aturan turunan lainnya pun tidak pro terhadap kepentingan seluruh rakyat tertindas. Sementara eksploitasi SDA di wilayah Papua Barat setiap tahun terus meningkat, hal ini tidak terlepas dari kriminalisasi oleh aparat TNI-Polri terhadap Orang Asli Papua, yang mengakibatkan hilangnya akses untuk bertani dan beternak akibat kepentingan Negara melalui pembangunan infrastruktur, perkebunan sawit, pertambangan, proyek food estate, dan jenis investasi lainnya terus bergulir dalam menjawab skema kepentingan ekonomi politik kapitalisme.
Selain itu, kasus rasialisme dan mobilisasi Militer terus ditumbuhsuburkan oleh Negara sebagai konkritnya politik pecah belah terhadap persatuan perlawanan rakyat West Papua, dengan tujuan memukul mundur gerakan rakyat melalui intimidasi, teror, penangkapan paksa, hingga pemenjaraan.


Dari beberapa runutan persoalan singkat diatas, kami dari aliansi GERAM TANI NTT menuntut:


1. Segera selesaikan persoalan tanah WNI eks Tim-Tim.

2. Segera kembalikan hak tanah ulayat masyarakat Besipae.

3. Tolak pembangunan jurasick park di pulau Komodo.

4. Segera cabut ijin pembangunan tambak garam malaka dan tutup PT IDK.

5. Tarik TNI-POLRI dari tanah West Papua.

6. Tutup PT Freeport dan tolak seluruh perusahaan.

7. Segera bebaskan Viktor Yeimo dan seluruh tapol Papua.

8. Berikan Hak Menetukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua sebagai solusi demokratis.

9. Cabut Omnimbus Law.

10. Segera sahkan RUU PKS dan tolak revisi RUU PKS oleh DPR.

11. Segera sahkan RUU Masyarakat Adat.

12. Segera sahkan RUU PRT.

13. Stop perampasan tanah dan hutan adat untuk kepentingan investasi.

14. Berikan upah layak jaminan K3 dan stop PHK masal.

15. Wujudkan jaminan pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis.



“HANCURKAN KAPITALISME, IMPERIALISME, KOLONIALISME, DAN MILITERISME”

0 Post a Comment: