Translate

Jumat, 17 Desember 2021

Perubahan Nama Pulau Papua Dari 200 M Lamanya

    Foto : Peta Papua 

Oleh : Nuelft : 24  


1. 200 M : Alih geoghraphy bernama Claudeus ptolemaus memberikan nama Papua Dengan : LABADIOS 

2. 500 M : China diberi nama Tungki. Dimana nama Tungki ini diperoleh dari bukunya Ghau Yu Kuan ( Tiongkok) yg menggambarkan bahwa asal rempah rempah yang mereka peroleh berasal dari Tungki 


3. Pada 600 M kerajaan  Sriwijaya  menyebut Papua sebagai Janggi 


4. Pada 700 M pedagang Persia dan mujarat dengan menyebut kan nama Papua Dengan Dwi Panta dan Samudranta yang artinya : Ujung samudra dan ujung lautan


5. Pada 1300 kerajaan Majapahit menyebutkan Papua sebagai wanin ( Fakfak, seram ) 


6. Pada 1511 Antonio, seorang pelaut dari Portugis memberikan nama PAPAASA. Hingga di tahun 1526 Antonia Figafetta menyebut Papua dengan Papaua. 

7. Pada 1646 Kerajaan Tidore memberikan nama untuk wilayah dan penduduknya sebagai PAPAUA yang artinya tidak bersatu. Dan dalam bahasa Melayu Berambut keriting.

8. 1528 Alvaro de Savedra Pimpinan armada laut spanyol memberikan nama ISLA De ORO atau island of gold 

9. 1545 : ortiz de retes ( Spanyol ) memberi nama nueve Guinee ( pulau Guinee)

10. 1956 : dari Sorong sampai merauke adalah bagian dari wilayah administratif Nederland Nieuw guinea yang ibukotanya di Hollandia

11. 16 Juli 1946 Konfrensi Malino ujung pandang Mengganti nama Nieuw Guinea dan Papua menjadi IRIAN 

12. Lalu, setelah belanda menyerahkan Papua ke UNTEA. UNTEA  memberi nama papua sebagai : WEST NEW GUINEA/IRIAN BARAT. Dan sejak 1963 dipakai nama IRIAN BARAT.

13. 1 Maret 1973 : Soeharto menggantikan irian barat menjadi irian jaya

14. 1 Januari 2000 : Nama Irian Jaya diganti oleh Presiden Abdurahman Wahid menjadi Papua


Sumber :

1. SuaraPapua.com

2. Jubi.co.id

Sabtu, 11 Desember 2021

ILUSI

Foto : Matias yatipai


Ilusi

Oleh: Matias yatipai


Pagi Hari…

Saat mataku terbuka oleh mentari

Di jendela kau tampakkan ilusi

Bukan mimpi kau ajakku menari

Saat saya berdiri, kau beranjak pergi


Siang itu…

Saat seluruh capek melandaku

Terlihat bayangmu tersenyum padaku

Belum terucap kata sapa olehku

Kau sudah menghilang dengan bayangmu


Malam sepi…

Saat damai temaram lampu api

Ilusi mu nampak sekian kali

Kudekati dengan sejuta emosi

Tak kusangka kau selamanya beranjak pergi


Hari Berlalu…

Saat ku berjalan, kau singgah menghadangku

Kini kuabaikan, tak ku hiraukan bayangmu

Tak hiraukan kau menangis semu

Aku capek jadi cermin ilusimu

Rabu, 01 Desember 2021

Pernyataan sikap FRONT RAKYAT UNTUK WEST PAPUA (FR-WP)

Foto ; Orang Papua dan solidaritas nasional untuk Papua 


Pernyataan Sikap

Front Rakyat untuk West Papua (FR-WP)


Demiliterisasi, Cabut Perpanjangan Otsus,
dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua!

 

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!

Tepat pada hari ini, 60 tahun lalu, sebuah momentum besar bagi sejarah rakyat West Papua terjadi. Pada 1 Desember 1961, rakyat West Papua mendeklarasikan kemerdekaannya. Kala itu, untuk pertama kalinya bendera Bintang Kejora berkibar di Kota Hollandia—kini Jayapura. Peristiwa tersebut bukanlah aksi spontan, tapi telah dilandasi dengan kesadaran kebangsaan.

Ketika West Papua masih menjadi wilayah sengketa antara Indonesia dan Belanda, tuntutan kemerdekaan rakyat West Papua sudah ada jauh sebelum Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan West Papua yang terdidik lewat sekolah polisi dan sekolah pamong praja (bestuurschool) di Hollandia, yang mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 untuk mempersiapkan kemerdekaan West Papua.

Atas desakan para politisi dan negarawan West Papua yang terdidik, maka Pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam dewan ini adalah MW Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P Torey (Ransiki/Manokwari), AK Gebze (Merauke), MB Ramandey (Waropen), AS Onim (Teminabuan), N Tanggahma (Fakfak), F Poana (Mimika), dan Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan HFW Gosewisch (mewakili Manokwari).

Setelah melakukan berbagai persiapan, disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional Papua yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea mempersiapkan kemerdekaan West Papua. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:

·   Menentukan nama negara          : Papua Barat

·   Menentukan lagu kebangsaan   : Hai Tanahku Papua

·   Menentukan bendera negara      : Bintang Kejora

·   Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961

·   Lambang negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”

Akan tetapi, deklarasi tersebut tak diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia yang menganggapnya sebagai negara boneka buatan Belanda. Pemerintah Indonesia melalui Soekarno saat itu lantas melakukan aneksasi terhadap West Papua melalui seruan Tri Komando Rakyat (Trikora). Seruan ini dilakukan di Yogyakarta, 19 Desember 1961, yang kemudian diejawantahkan dalam serangkaian operasi militer yang menumpahkan banyak korban rakyat sipil West Papua.

Peristiwa ini tidak bisa dilepaskan dari konteks Perang Dingin yang secara langsung turut memperkeruh nasib bangsa West Papua. Amerika Serikat yang memiliki kepentingan tak kalah besar terhadap Papua (Kontak Karya Freeport 1967) akhirnya turut terlibat menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Perundingan kemudian berlangsung di New York pada 15 Agustus 1962 (New York Agreement) yang mana Amerika bertindak sebagai mediator. Perlu dicatat bahwa dalam perundingan ini tidak ada satu pun perwakilan rakyat West Papua yang terlibat. Padahal perundingan ini menyangkut keberlangsungan hidup dan nasib rakyat West Papua.

New York Agreement terdiri dari 29 pasal yang mengatur 3 hal. Pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan nasib sendiri (self-determination) yang didasarkan pada praktek internasional, yaitu satu orang satu suara (one person one vote). Pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara Persatuan Bangsa-Bangsa (UNTEA) kepada Indonesia.

Ketika Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua pada tahun 1963, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional.

Satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah Pepera yang tidak sah pada tahun 1969. Tidak sah karena hanya 1.022 orang (4 orang lainnya tidak ambil bagian) yang terlibat dalam pemungutan suara, atau kurang dari 0,2% dari populasi rakyat West Papua (800 ribu jiwa), yang dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia. Musyawarah untuk mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan Pepera yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi, serta adanya pelanggaran HAM berat. Nyatanya hasil dari pelaksanaan Pepera tersebut hanya “dicatat” di Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat Resolusi 2504 (XXIV) yang mana tidak disebutkan bahwa PEPERA telah dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement maupun prosesnya memenuhi standar “penentuan nasib sendiri” seperti yang diamanatkan oleh Resolusi PBB 1514 dan 1541 (XV). Proses integrasi yang cacat ini beriringan dengan pendekatan militeristik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru Soeharto dalam upaya “mengindonesiakan” rakyat West Papua. Serangkaian pelanggaran HAM berat terjadi, salah satu contohnya adalah Tragedi Biak Berdarah.

Kejatuhan Orde Baru kembali menggelorakan perjuangan kemerdekaan rakyat West Papua, terlebih pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meskipun Gus Dur telah melakukan hal yang lebih halus—proses integrasi yang cacat, serta berpuluh tahun penindasan dan kekerasan oleh militer Indonesia—telah terlanjur membekas dalam ingatan rakyat West Papua. Hal itu ditandai dengan tuntutan kemerdekaan yang tetap lantang. Salah satu upaya itu dilakukan dengan mengadakan Kongres Nasional II Rakyat Papua yang menetapkan Theys Eluay sebagai Presidium Dewan Papua. Theys Eluay kemudian dibunuh oleh Tim Mawar, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di bawah pimpinan Hartomo. Kematian Theys segera ditindaklanjuti pemerintah Indonesia di bawah presiden Megawati mengesahkan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus).

UU Otsus menjanjikan kedaulatan bagi rakyat West Papua yang termajinalisasi, mengobati luka lama akibat penindasan, dan mengakomodasi kehadiran partai politik lokal. Namun nyatanya janji tersebut langsung terbantah dengan adanya pembunuhan Theys Eluay. Kejadian itu membayangi UU Otsus dan menjadi peringatan akan berlanjutnya kekuasaan dan impunitas militer Indonesia. Benar saja, selama 20 tahun Otsus diterapkan tanpa memperhatikan mekanisme demokrasi yang sejati. Lembaga-lembaga pemerintahan lokal menjadi sasaran campur tangan dan pengawasan pemerintah pusat demi menyingkirkan kandidat-kandidat yang prokemerdekaan. Implementasinya pun lebih terfokus pada proyek-proyek pembangunan. Kendati UU tersebut mengklaim hendak mengangkat derajat orang West Papua yang ‘termarjinalisasi” melalui proyek-proyek pembangunan, faktanya dana proyek-proyek itu lebih sering diselewengkan. Anggaran untuk infrastruktur dan dana alokasi umum (DAU) jumlahnya dua persen dari APBN, sementara pada saat yang sama aparat keamanan meraup banyak untung dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang melimpah dengan dalih operasi kontrapemberontakan dan transmigrasi. Hal ini menyebabkan kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi secara damai terus berlanjut. Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora tetap diberlakukan, dan, tidak ketinggalan, tetap terjadi pembunuhan di luar hukum oleh TNI/Polri.

Oleh sebab itu pada 2020 organisasi-organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik mengorganisasi penolakan atas evaluasi UU Otsus dan perpanjangannya. Pada Juli 2020, terbentuklah Petisi Rakyat Papua (PRP) yang awalnya didukung oleh 16 kelompok. Mei 2021, PRP menyatakan telah menerima lebih dari 700.000 tanda tangan penolakan perpanjangan Otsus. PRP membantah klaim Jakarta yang mengatakan bahwa Otsus berhasil menyejahterakan dan mengikutsertakan orang asli West Papua dalam memerintah wilayah mereka. PRP juga menunjukkan keberatan atas meningkatnya militerisasi di West Papua dan menuntut Pemerintah Indonesia segera berhenti “mereduksi persoalan-persoalan pokok rakyat West Papua ke dalam pembahasan dana Otsus.” Mereka dan kelompok-kelompok lain keberatan atas disingkirkannya rakyat West Papua dari pembahasan Otsus. Evaluasi UU Otsus, misalnya, harus melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Pemerintah mengklaim bahwa lembaga-lembaga itu sudah representatif, tapi sebagian kalangan berpendapat bahwa kelompok-kelompok prokemerdekaan tidak dilibatkan. Kelompok-kelompok masyarakat sipil di West Papua, termasuk PRP, khawatir revisi UU itu dilangsungkan oleh elit-elit Jakarta dan disetujui tanpa pertimbangan oleh lembaga pemerintah tingkat lokal.

Terhadap proses evaluasi yang dikontrol para politisi Jakarta, kelompok-kelompok masyarakat sipil West Papua membuat penolakan dalam bentuk protes jalanan yang sering kali berujung pembubaran oleh aparat. September 2020, misalnya, ribuan orang di Nabire terlibat aksi protes yang disertai penangkapan sejumlah orang sebagaimana pernah terjadi saat gerakan antirasisme tahun 2019. Empat hari kemudian, protes yang sama berlangsung di Jayapura. Demonstrasi ratusan mahasiswa dibubarkan secara paksa oleh aparat yang personelnya jauh lebih banyak dari massa aksi dan aparat melepaskan tembakan ke arah halaman universitas. Di sebuah protes serupa di Jayapura beberapa bulan berikutnya, seorang massa aksi mahasiswa bernama Matias Suuh tertembak dan tiga belas mahasiswa lainnya ditangkap. April 2021, sebuah aksi protes besar rencananya akan digelar di Deiyai, wilayah Pegunungan Tengah. Polisi dan tentara, yang jumlahnya lebih banyak dari massa aksi, mencegah aksi itu digelar. Aparat keamanan berdalih khawatir akan terjadi pertumpahan darah jika aksi tetap berlangsung. Agustus 2019, enam orang tewas tertembak di Deiyai saat aksi Gerakan West Papua Melawan.

Keprihatinan atas tindakan keras terhadap penyampaian pendapat di muka umum, yang disuarakan dalam surat bersama Pelapor Khusus PBB, ditanggapi Pemerintah Indonesia dengan mengatakan bahwa tindakan keras terhadap demonstrasi tolak Otsus dilakukan demi menghindari penyebaran Covid-19. Namun, Pemerintah juga mengamini tindakan itu dilakukan karena ada unsur “separatisme”. Karenanya, pihak berwenang menggunakan pandemi sebagai dalih pembubaran aksi protes dan mempercepat pembahasan UU Otsus sambil menumpas kubu yang menolak.

Sejak pemilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir tahun 2014, militer dibiarkan terus mengakumulasi lebih banyak kekuasaan dan anggaran dengan melanggengkan struktur komando teritorial yang mengizinkannya mengakses SDA—secara legal maupun ilegal. Sejak lama, militer Indonesia terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal di West Papua, termasuk di usaha penebangan kayu dan pengamanan perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan, yang juga disertai penggusuran orang-orang West Papua dari tanahnya. Militer juga merupakan penerima alokasi dana Otsus dalam jumlah yang besar, dua per persen dari anggaran nasional Indonesia, serta dana pembangunan, dan dana infrastruktur. Bupati-bupati terpilih memiliki anggaran yang bisa diakses militer untuk melakukan operasi militer melawan dugaan ancaman pemberontak di West Papua. Kendati dengan biaya yang besar, operasi-operasi ini kadang dilakukan secara tidak efisien dan tidak efektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah operasi-operasi militer melawan pemberontakan tersebut sebenarnya untuk memenuhi tujuan yang kerap pemerintah nyatakan atau tidak lebih dari sumber pendapatan lain bagi militer?

Presiden Jokowi mengizinkan militer memperluas struktur teritorialnya dengan membangun dua komando daerah militer (kodam) baru, salah satunya di Provinsi Papua Barat. Pihak militer mengklaim bahwa hal ini diperlukan dalam rangka melawan gerakan perlawanan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Namun, TPNPB tidak hadir dalam jumlah yang signifikan di Provinsi Papua barat. Tampaknya militer tengah berusaha menjustifikasi penambahan struktur komando teritorial yang bisa membuat mereka terus melanggengkan kepentingan bisnisnya.

Jokowi juga mengizinkan militer melanjutkan rencana pembangunan Jalan Raya Trans-Papua. Jokowi dikabarkan meyakini proyek itu perlu diselesaikan, setelah melakukan kunjungan tahun 2015 dan merasa kesulitan mengakses Nduga, kabupaten yang baru dibentuk tahun 2008 dan salah satu daerah paling tertinggal di West Papua. Kementerian Pertahanan menyediakan dana APBN untuk proyek ini. Korps Zeni Angkatan Darat (Pusziad atau Zeni) telah mengerjakan 10 persen sisa pembangunan jalan raya sepanjang 4.320 km tersebut. Beberapa orang mengakui bahwa jalan ini bisa mengurangi biaya transportasi ke Pegunungan Tengah, tapi jalan itu juga telah memfasilitasi kehadiran militer dalam jumlah banyak di Pegunungan Tengah dan membawa pendatang non-Papua yang mendominasi perekonomian di kota-kota kecil seperti Wamena. Jalan-jalan ini selanjutnya memungkinkan militer memberlakukan pembatasan terhadap pergerakan warga sipil dengan mendirikan pos-pos pemeriksaan militer.

Penahanan oleh aparat keamanan, yang dalam prosesnya sering kali terdapat penyiksaan, merupakan strategi untuk memperkuat kekuasaan militer atas wilayah-wilayah yang beberapa di antaranya lahir melalui pemekaran. Di daerah seperti Kabupaten Nduga, aparat keamanan adalah hal paling menonjol dari negara Indonesia, terlebih lagi koordinasi instansi pemerintah sipil tidak memadai. Keberadaan militer dan polisi yang mencolok telah menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat sipil. Tidak ada cara yang sederhana untuk mengukur efek pendudukan militer. Insiden kekerasan, termasuk penyiksaan, pelecehan dan intimidasi serta pelanggaran lain, misalnya, tidak dapat dipertanggungjawabkan hanya dengan mengandalkan statistik angka kematian: kematian tidak selalu dicatat karena akses ke Pegunungan Tengah sangat sulit dan sering kali tidak memungkinkan atau tidak diizinkan tanpa didampingi aparat keamanan. Para menteri pemerintah pun secara terbuka menyangkal fakta adanya kematian warga sipil yang disebabkan operasi aparat keamanan di Pegunungan Tengah.

Militerisasi di Papua sudah pada level yang teramat memprihatinkan dan telah terbukti gagal menghentikan bahkan memperburuk eskalasi kekerasan di tanah Papua. Bahkan hal ini juga sudah disadari, salah satunya, oleh Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono. Dikutip dari Majalah Tempo beberapa waktu lalu, ia menyatakan mendukung pendekatan dialog untuk mengatasi konflik di Papua dan melakukan kontak tembak, tapi dengan syarat dialog itu tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Serangkaian penjelasan di atas dapat menyimpulkan bahwa akar permasalahan yang terjadi di West Papua adalah cacatnya sejarah integrasi. Kondisi ini kemudian membuahkan praktek militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM (pembunuhan di luar hukum, penangkapan, penyiksaan, pembungkaman kebebasan berpendapat), penyingkiran Orang Asli Papua (OAP), dan kerusakan lingkungan. Karenanya diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri. Tentu dengan tidak mengesampingkan demiliterisasi di Papua terlebih dahulu.

Maka, dalam rangka peringatan 60 Tahun Hari Deklarasi Kemerdekaan Bangsa West Papua Front Rakyat Untuk West Papua ( FR-WP ),menyatakan sikap politik sebagai berikut:

1.     Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua

2.     Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II

3.     Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua

4.     Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua

5.     Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia

6.     Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat

7.     Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang

8.     Usut tuntas pelaku penembakan dua anak di Intan Jaya

9.     Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM

10.   Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri

11.   Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya

12.   Cabut Omnibus Law

13.   Belanda harus bertanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan

14.   PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua

15.   Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung

16.   Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua

17.   Usir PT. IDK ( Tambak Garam ) di Malaka

18.   Berikan Kepastian Tanah Bagi Warga Eks Tim-Tim

19.   Tolak Pembangunan Jurassic Park di Pulau Komodo

20.   Kembalikan Tanah Adat Masyarakat Pubabu Besipae

21.   Wujudkan Pendidikan Gratis , Ilmiah dan Demokratis

 

Demikian pernyataan sikap ini dibuat. Kami menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri. Juga penting kami sampaikan pada rakyat Indonesia, West Papua, dan dunia, mari kita bersama-sama bersatu untuk mengakhiri penipuan sejarah dan penderitaan di yang ada di Tanah West Papua.

Medan Juang, 1 Desember 2021

 

Panjang Umur Pembebasan Bangsa Papua Barat.

Selasa, 30 November 2021

Tangisan Yang Membisu



Foto ; May Y

Tangisan Yang Membisu

Oleh ; May Y, Magelang, 1 Desember 2016

==================== 


Dibalik tangisan, dihiasi butiran-butiran darah, 

Sejuta tulang belulang Anak Bangsa, ramainya, bertebaran di Jagat Raya. 

Sepatah kata pun, tak berdaya tuk menceriterakan dengan tinta hitam ini.


Mataku terus membajiri, cucuran air mata darah.

Sulitnya, Ku memandang, kawan yang disana

Sungguh jiwa dan ragaku terkancing mati.


Memangkah ini, karunia disepanjang hidupku?

Ataukah ini, Upah hidup hingga diakhir langkah, oleh Sang Khalik

Kini berada, digubuk keprihatinan


Jika itu, ku salah memijahkan kedua kaki ini,

Mohon diberi, jalan yang tepat

Mengapakah, langsung mengambil sikap dan menghabisi-ku?


Mereka dan engkau Manusia,Ciptaan Tuhan 

Jalan-ku bukanlah Jalan-mu,

Sang Surya pun, berjalan sesuai orbitnya


Semakin panasnya Bumi,

Semakin panas pula, tabiat manusia

Canda dan tawa pun membisu


Jahatnya jagat Raya

kicauan burung dibelantara menghilang

Gundulnya Alam ini


Enyalah kau penjahat

Ingin menghirup oksigen baru

Kepada-mu, Sang Khalik,Kupasrahkan

Kamis, 04 November 2021

SEPARATIS ITU NAMA BAYINYA/ANAKNYA PENGUASA INDONESIA DAN TNI-POLRI DI WEST PAPUA.

 


Oleh Dr. Socratez S.Yoman


1. Pendahuluan

Penguasa Indonesia, TNI-Polri tidak sadar bahwa bayi atau anak yang bernama Separatis adalah hasil dari kawin paksa. Indonesia kawin paksa dengan West Papua yang melahirkan bayi atau anak yang benama Separatis. 

Bayi separatis itu tidak turun dari langit. Bayi separatis itu tidak lahir sendiri. Bayi separatis itu ada bapak dan ibunya. Ayah dan ibunya ialah pemerintah Indonesia dan TNI-Polri.


Bayi separatis lahir dari hasil kawin paksa Indonesia, TNI-Polri dengan bangsa West Papua. Anak yang bernama separatis itu tidak terima kawin paksa maka bayi separatis itu melakukan penolakan dan perlawanan karena bayi anggap diri sebagai anak haram dan anak tidak sah. Pepera 1969 peristiwa kawin paksa dengan moncong senjata.


Rakyat West Papua adalah sebuah bangsa. Ia bukan sebuah provinsi. Pendudukan dan penjajahan Indonesia di West Papua ialah ilegal. Penguasa Indonesia adalah penjajah dan kolonial moderen. Proses pengintegrasian juga dengan proses ilegal. Penggabungan West Papua ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata/kawin paksa dan sangat tidak manusiawi. Hermanus Wayoi (Herman) pernah mengabadikan satu pernyataan sebagai berikut:


" Secara de facto dan de jure Tanah Papua atau Irian Barat tidak termasuk wilayah Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi, Tanah Papua bukan wilayah Indonesia, melainkan dijadikan daerah perisai/tameng atau bemper bagi Republik Indonesia." 

(Sumber: Tanah Papua (Irian Jaya) Masih Dalam Status Tanah Jajahan. Dikutip dalam buku Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat: Yoman, 2007 


Menurut Dr. George Junus Aditjondro, bahwa, "Dari kaca mata yang lebih netral, hal-hal apa saja yang dapat membuat klaim Indonesia atas daerah Papua Barat ini pantas untuk dipertanyakan" ( 2000, hal.8).


Sementara Robin Osborn berpendapat: "...bahwa penggabungan daerah bekas jajahan Belanda itu ke dalam wilayah Indonesia didasarkan pada premis yang keliru....Kini, premis ini diragukan keabsahannya berdasarkan hukum Internasional" (2000, hal. xxx).


Pdt. Dr. Karel Phil Erari menegaskan: "Secara hukum, integrasi Papua ke dalam NKRI bermasalh" (2006, hal. 182).


Seluruh rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tidak tahu tentang kejahatan, kekejaman dan brutalnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merampok hak politik rakyat dan bangsa West Papua pada 1969 yang mengakibatkan kawin paksa. 


Menurut Amiruddin al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42). 


Apa yang disampaikan Amiruddin, ada fakta sejarah, militer terlibat langsung dan berperan utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1969 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: "Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?" 

(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).


"Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir..." (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).


Surat pimpinan militer berbunyi: " Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun B/P-kan baik dari AD maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di Irian Barat (IRBA) tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN..." (Sumber: Surat Telegram Resmi Kol. Inf.Soepomo, Komando Daerah Daerah Militer Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No:TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Menghadapi Refendum di IRBA ( Irian Barat) tahun 1969).


Militer Indonesia benar-benar menimpahkan malapetaka bagi bangsa West Papua. Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dikorbankan dengan moncong senjata militer Indonesia. Kekejaman TNI bertolak belakang dengan fakta menyatakan mayoritas 95% rakyat West Papua memilih untuk merdeka. 


"...bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua." 


(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in NAA).


Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia."


(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).


Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:


"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negarva Papua Merdeka." (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraf 243, hal. 47).


2. Apakah Ir. Sukarno juga Separatis?


Jawabannya dalam perspektif kolonial Belanda, ya dan benar bahwa Ir. Sukarno adalah separatis karena ia melawan kedaulatan penjajah dan kolonial Belanda di Indonesia. Karena itu, pemimpin pemberontak dan separatis ini ditangkap penguasa Belanda dan mengasingkan Sukarno di Boven Digul dan pulau Ende di Flores. 


Apa bedanya Ir. Sukarno sebagai separatis melawan kolonial Belanda dan para pejuang West Papua Merdeka yang melawan kolonial Indonesia?


Contoh lain ialah kolonial Apartheid memberikan stigma kepada Nelson Rolihlahla Mandela ialah pemimpin Komunis yang berjuang untuk menggulingkan pemerintahan Apartheid yang sah di Afrika Selatan. Nelson yang lahir pada 18 Juli 1918 dituduh Apartheid bahwa orang yang berbahaya yang melawan Undang-Undang Anti Komunisme.


Contoh lain adalah Mahatma Gandhi adalah pembela atau penasihat hukum orang-orang India di Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, secara sopan orang India disebut 'orang berwarna.' Sedangkan secara kasar disebut 'coolie atau 'Sami' yang artinya buruh dan pelayan. Jadi, Mahadma Gandhi diberikan stigma penasihat para "coolie" atau "Sami." 


Dalam stigma yang merendahkan martabat dirinya dan bangsanya dengan sebutan "Coolie dan Sami", Gandhi segera mendidik dirinya untuk memperjuangkan nasib buruk orang India di Afrika Selatan, memimpin gerakan untuk menyuarakan serta menuntut penghormatan hak hidup mereka. 


Gandhi mengatakan: "Jadi, Tuhan meletakkan batu landasan hidup saya di Afrika Selatan, dan menuai benih perjuangan penghormatan diri sebagai bangsa." (Sumber: John MacCain bersama Mark Salter: Karakter-Karakter yang Menggugah Dunia, 2002, hal. 17).


Benny Wenda juga diberikan stigma sebagai buronan penjahat oleh penguasa kolonial Indonesia. Ternyata lidah panjang Indonesia dipotong dan mulut besar kolonial Indonesia dibungkam oleh Walikota Oxford, The Lord Mayor of Oxford, Councillor Craig Simmons pada 17 Juli di Oxford City, bahwa Benny Wenda ialah pemimpin terhormat dan setara dengan pemimpin dunia yang lain. Karena Benny Wenda telah memberikan kontribusi positif di Oxford dan juga di seluruh dunia. Penghargaan untuk Benny Wenda merupakan penghargaan dan penghormatan rakyat dan bangsa West Papua.


3. Kami Bukan Separatis. Kami Tuan dan Pemilik Sah Tanah West Papua.


"Tanah West Papua adalah tanah leluhur kami yang diberikan TUHAN kepada leluhur dan nenek moyang bangsa Melanesia. Leluhur dan nenek moyang mewariskan kepada kami. Kami adalah bangsa West Papua dan rumpun Melanesia. Kami bukan separatis. Kami membela dan mempertahankan martabat dan kehormatan bangsa kami. Tanah West Papua dari Sorong-Merauke bahkan sampai Samarai adalah hak kami dan milik kami. Tidak ada bangsa lain dan orang yang menduduki dan menjajah kami. Kami tahu, kami mengerti, kami belajar dan kami alami Indonesia adalah bangsa kolonial Firaun moderen yang menduduki, menjajah, menindas, merampok, mencuri dan menjarah atas hidup dan tanah kami. KAMI TIDAK TAKUT & GENTAR KEPADA PARA PEMBUNUH DAN PERAMPOK YANG TIDAK PUNYA MORAL DAN HATI NURANI."


Tidak ada yang harus ditakuti. Terlalu hina kalau Tuan Tanah Takut kepada penjajah dan perampok dan pembunuh yang nama Indonesia. Sadarlah, Bangkitlah, hai.....anak-anak Negeri West Papua. Sudah cukup lama martabat kami direndahkan. Sudah cukup lama kami dibuat seperti hewan dan binatang. 


Ingat! Leluhur dan Nenek Moyang kami tidak tahu namanya Indonesia atau NKRI.


Ingat! TUHAN tidak larang West Papua Merdeka. Kitab Suci Alkitab tidak larang West Papua merdeka. Gereja tidak larang West Papua Merdeka. Tetapi yang dilarang TUHAN, dilarang Alkitab dan dilarang Gereja ialah JANGAN MEMBUNUH DAN JANGAN MENCURI (Keluaran 20:13,15).


Mengapa kita sebagai bangsa yang bermatabat dan berdaulat, diam, takut dan membisu ketika Orang Asli West Papua dibantai atas nama NKRI oleh penguasa kolonial kejam Indonesia, TNI-Polri sebagai orang-orang pendatang, tamu? Perilaku para kriminal dan penjahat ini harus dihentikan dan disadarkan bahwa mereka tidak mempunyai hak atas tanah, rakyat dan bangsa West Papua. 


Doa dan harapan saya, tulisan ini menjadi berkat pencerahan, inspirasi dan semangat keberanian. 


Ita Wakhu Purom, 26 Juli 2019.

Senin, 01 November 2021

YESUS KRISTUS ADALAH RAJA, GURU, DAN GEMBALA SEPARATIS SEJATI

 


Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman,MA 

Teologi Pembebasan 

Apakah benar Yesus Kristus Raja Damai dan Sang Juruselamat, Sang Penebus dan Pembebas umat manusia dari belenggu kuasa Iblis dan kuasa dosa dan Raja dari segala raja  itu juga disebut Raja Separatis Agung?  


Apakah benar Yesus Kristus Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai (Yesaya 9:5)  itu juga disebut Gembala  Separatis Agung? 


Menurut iman dan kepercayaan  penulis, bahwa Yesus Kristus juga Raja Separatis Agung,  Gembala Separatis Agung dan Guru Separatis Agung. Yesus Kristus mengajarkan Separatisme kepada semua umat manusia di muka bumi dan kepada orang asli Papua.  Jadi, Yesus Kristus adalah Raja Separatis Sejati, Gembala Separatis Sejati, dan Guru Separatis Sejati. 


Para pembaca yang mulia, mari, kita belajar istilah kata "separatis" itu sendiri. Kata "separatis" berasal dari bahasa Inggris, yaitu "separate".  Kata "separate/separates" artinya "memisahkan." 


Yesus Kristus disebut juga Raja Separatis Sejati karena Kerajaan-Nya terpisah dari Neraka dan Kerajaan-Nya memisahkan kuasa terang Allah dari kegelapan kuasa Iblis dan dosa. Kuasa kelahiran Yesus, kematian Yesus, dan kebangkitan Yesus memisahkan manusia dari kuasa Iblis dan kuasa dosa. 


Yesus sebagai Raja Separatis Sejati mengatakan: 


"Akulah terang dunia, barangsiapa mengikuti Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup" (Yohanes 8:12). 


"Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya" (Yohanes 1:4-5). 


Ada keterpisahan atau separatisme antara terang  atau cahaya Yesus Kristus dengan kegelapan yang dikuasai Iblis dan dosa. Separatisme yang tegas dan jelas yaitu antara terang dan gelap tidak dapat bersatu, berdamai, dan hidup harmoni. 


Yesus Kristus juga disebut Guru Separatis Sejati karena Ia mengajarkan kasih, kebenaran, keadilan, kedamaian yang menentang dan memisahkan kebencian, ketidakbenaran, ketidakadilan, dan ketidakdamaian. 


Yesus Kristus juga disebut Gembala Separatis Sejati karena Ia memisahkan domba dari kambing, dan domba dari binatang liar, harimau, singa dan binatang liar lainnya. 


Yesus Kristus adalah Raja Separatis Sejati atau Raja Pemisahan Sejati dapat dibuktikan yang tertulis dalam Kitab Suci, yaitu: 


"....Lalu semua bangsa akan dikumpulkan dan di hadapan-Nya dan Ia akan MEMISAHKAN (tindakan separatisme) mereka seorang daripada seorang, sama seperti gembala memisahkan (separatisme) domba dari kambing, dan Ia akan menempatkan domba-domba Allah di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya" (Matius 25:32-33). 


Dalam konteks Papua Barat, ada gerakan Separatis, yaitu rakyat dan bangsa Papua Barat untuk memisahkan  pendudukan dan penjajahan bangsa kolonial modern Indonesia  yang disimbolkan kejahatan, kegelapan, kekejaman, kekerasan, kebohongan, pencurian, pembunuhan yang dilakukan Negara selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang. 


Gerakan separatis di Papua untuk memisahkan Indonesia dari Papua karena kolonialisme, militerisme, kapitalisme, rasisme, fasisme, ketidakadilan, pelanggaran berat HAM, marjinalisasi, sejarah Pepera 1969 yang bengkok dan proses pemusnahan etnis Papua (genocide). 


Gerakan separatisme itu untuk memisakan rakyat dan bangsa Papua dari mitos, stigma, dan label monyet, makar, opm, kkb dan teroris yang diproduksi penguasa Indonesia  dari waktu ke waktu. 


Rakyat dan bangsa Papua Barat belajar dan mengikuti  dan melaksanakan teladan Yesus Kristus sebagai Raja Separatis Sejati, Guru Separatisme Sejati dan Gembala Separatis Sejati. 



Doa dan harapan saya, tulisan ini membuka wawasan teologis untuk para pembaca. Selamat mengecap dan menikmati tulisan ini. 


Ita Wakhu Purom, 1 November 2021 


Penulis: 


1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)

2. Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).

3. Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).

4. Aliansi Baptis Dunia (BWA).

Urutan Hari-Hari Penting Dalam Sejarah Papua


Oleh ; nuelft24

1. 1 Desember  1961 : Deklarasi kemerdekaan bangsa Papua

2. 19 Desember 1961 : Operasi Trikora 

3. 15 Agustus 1962 : New York Agreement 

4. 30 September 1962 : Roma Agreement 

5. 1 Mei 1963 : Hari Aneksasi Bangsa Papua Ke dalam NKRI secara sementara sambil menunggu hasil PEPERA dilaksanakan

6. 7 April 1967 : sebelum PEPERA dilakukan PT Freeport Amerika masuk 

7. Di tahun 1969 : dilaksanakan PEPERA 1969

Teman teman bisa pelajari lebih lanjut lagi tentang hari-hari penting diatas yess.

Tq om. Semoga membantu 😇

Minggu, 31 Oktober 2021

Klaim Soekarno yang menyesatkan tentang papua


Oleh ; Nuelft 24

Ada 4 klaim Soekarno yang pernah di bahas dalam sidang BPUPKI 10-11 Juli 1945.
Klaim Soekarno terhadap Papua ini, sama sekali tidak didasarkan dengan data yang lengkap. 
4 klaim tersebut adalah ;

1. Papua termasuk kedalam kekuasaan tidore. Baca ; Papua Bagian Dari Tidore

2. Papua bagian dari kerajaan Majapahit. Baca; Papua Bagian Dari Kerajaan Majapahit

3. Soekarno bertujuan untuk menghalau Imprealism Barat. Baca ; Bertujuan Untuk Menghalau Imprealism Barat

4. Soekarno mengkalim bahwa Papua termasuk jajahan Hindia-Belanda. Baca; Papua Bagian Dari Jajahan Hindia-Belanda


Dari 4 klaim diatas kawan bisa baca di link masing masing. 

 Tq 

Minggu, 17 Oktober 2021

JENDRAL TADIUS YOGI, "BANGSA INDONESIA TIDAK PUNYA TANAH ATAU DUSUN DI TANAH PAPUA BARAT."

Foto : Tadius Yogi di Markas Eduda Paniai


Oleh : Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA

Pada 8 Juli 2021, ada pertemuan dengan Moderator Dewan Gereja Papua (WPCC), Pdt. Dr. Benny Giay dan juga Ketua Sinode Gereja Kemah Injil di Tanah Papua (GKIP). Pertemuan ini minyikapi perkembangan terbaru yang dialami dan dihadapi umat Tuhan di Tanah ini.

Selesai pertemuan, kami diskusi singkat tentang definisi orang asli Papua (OAP) yang penulis definisikan, yaitu: "Orang Asli Papua (OAP) adalah orang-orang yang memiliki Tanah atau Dusun yang jelas dan Tanah dan Dusun yang masih terpelihara di kampung-kampung sampai sekarang."

Dalam meresponi definisi ini, Pendeta Dr. Benny Giay memberikan komentar tentang pernyataan Jenderal Tadius Yogi. Jenderal Yogi pernah menyatakan dan juga mempertanyakan kepada bangsa kolonial modern Indonesia, sebagai berikut:

"Bangsa Indonesia tunjukkan kepada saya Tanah dan Dusun mereka di Tanah ini. Di mana Tanah dan Dusun mereka? Di mana bekas kebun mereka dan tanda membuat honai di Tanah ini? Apakah ada tanda-tanda dan bukti-bukti warisan leluhur orang-orang Indonesia? Di sini terbukti, bangsa Indonesia tidak punya Tanah dan Dusun. Papua ini Tanah dan Dusun milik sah orang asli Papua."

Pernyataan dan pertanyaan Jenderal Tadius Yogi dan definisi OAP ini sangat paradoks atau bertolak belakang dengan pernyataan-pernyataan para penguasa kolonial modern Indonesia, terutama para serdadu kolonial Indonesia yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa Papua Barat. Para jenderal kolonial Indonesia dimana-mana dan kapan saja mengancam dan menteror OAP dengan pernyataan-pernyataan, sebagai berikut:

"Sejengkal Tanah pun dari NKRI tidak boleh lepas."

Pemerintah kolonial modern Indonesia dan TNI-Polri perlu memperlajari sejarah dan nilai-nilai budaya, karena leluhur dan nenek moyang rakyat dan bangsa Melanesia tidak pernah hidup bersama, buat pagar bersama, buat kebun bersama, buat honai bersama, buat perahu bersama, bakar bersama, dan duduk bersama.
Di sini, di Tanah Papua Barat, Tanah Melanesia ini, ada hidup orang-orang berkulit hitam, rambut keriting ribuan tahun sebelum orang asing Indonesia sebagai bangsa kolonial modern datang menduduki dan menjajah kami. Pendudukan dan penjajahan bangsa kolonial modern Indonesia dimulai 1 Mei 1963.
Bangsa Indonesia merampas, merampok dan mencuri Tanah dan Dusun OAP dengan moncong senjata. Selain moncong senjata bangsa asing kolonial Indonesia memproduksi mitos, label dan stigma Orang Asli Papua anggota OPM, separatis, makar, kkb (Kk Besar), dan label terbaru teroris. Semua mitos ini menjadi mesin dan senjata penakluk dan pembungkam serta pembunuh Orang Asli Papua yang berdiri atas hak hidup, hak Tanah/Dusun dan hak politik. Mitos dan lebel ini juga alat pembungkam OAP yang berkata dan bersuara benar.
Mitos, label dan stigma ini juga diproduksi untuk menutupi RASISME, Kapitalisme, Militerisme dan Kolonialisme bangsa Indonesia atas rakyat dan bangsa Papua Barat.

Yang jelas dan pasti, bangsa kolonial modern Indonesia tidak punya Tanah dan Dusun di Papua. Karena itu, bangsa kolonial modern Indonesia selalu berlindung di Perjanjian New York 15 Agustus 1962, Pelaksanaan Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI dan Resolusi PBB 2504.

Pertanyaannya ialah apakah ada OAP terlibat dalam proses pembuatan dan penandatanganan NYA 15 Agustus 1962?

Orang Asli Papua tidak pernah diajak bicara dan dilibatkan dalam proses pembuatan New York Agreement 15 Agustus 1962.

Apakah benar OAP terlibat dalam proses Pepera 1969 dan setuju tinggal dengan bangsa Indonesia?

Fakta sejarah, Pepera 1969 dimenangkan oleh pasukan kolonial modern Indonesia, yaitu ABRI. Tanah Papua dimasukkan atau diintegrasikan ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata kolonial Indonesia.