Translate

Senin, 12 Juli 2021

SAYA BANGSA BERDAULAT SEJAK NENEK MOYANG TETAPI SAYA BUKAN BANGSA BUDAK


Ilustrasi : Orang Papua Ditindas

Dikutip dari artikel Dr. Socratez Yoman,MA
LUAR BIASA, ada pengakuan bahwa, rakyat dan bangsa West Papua adalah bangsa berdaulat penuh sejak turun temurun. Rakyat dan bangsa West Papua adalah orang-orang yang berdiri di kaki sendiri, tidak membutuhkan bantuan orang lain karena mereka sudah memiliki semua dari TANAH mereka, dan orang Asli Papua tidak mudah mengemis dan meminta-minta karena bangsa berdaulat di atas TANAH leluhur kami. Pengakuan ini yang sedang dihancurkan dan dimusnahkan oleh bangsa kolonial primitif dan bazerrp Indonesia.
Ikuti kutipan pengakuan LUAR BIASA tentang kedaulatan rakyat dan bangsa West Papua, sebagai berikut:

"Mereka (Orang Asli Papua) sudah mengetahui semuanya; tentang membangun rumah, tentang membuka kebun; dalam lembah ini telah dibangun sebuah masyarakat yang sudah bertahan tak kurang dari berabad-abad lamanya. Mereka sama sekali tidak memerlukan kami." (Pastor Lieshout, OFM Gembala dan Guru Bagi Papua: 2020:597).
"Saya sendiripun belajar banyak dari manusia Balim yang begitu manusiawi. Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, ...Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni...dan semangat kebersamaan dan persatuan...saling bersalaman dalam acara suka dan duka...Ia suka mandiri dan hidup dalam harmoni...ia mempunyai rasa harga diri tinggi...ia trampil sebagai petani dan rajin bekerja...Ia bangga dan puas dan keberadaannya dan tidak mudah mengemis. Ia mempertahankan nilai-nilai hidup baik dengan kontrol sosial yang kuat." ( Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua, 2019, hal. 85-86).
Para pembaca yang mulia dan terhormat, melalui artikel ini, penulis berusaha dengan tiga tujuan utama:
Pertama, penulis mendidik dan mengajarkan penguasa kolonial primitif dan babar atau bangsa kolonial firaun modern Indonesia supaya mereka HARUS sadar bahwa rakyat dan bangsa West Papua adalah bangsa berdaulat sejak leluhur/nenek moyang atau turun-temurun.
Kedua, rakyat Indonesia dari Sabang-Ambon perlu sadar dan mengetahui bahwa Indonesia sebagai penjajah/kolonial primitif dan babar yang menduduki dan menindas rakyat dan bangsa West Papua dengan cara memiskinkan dalam segala bidang secara konstitusional, sistematis, terstruktur, masif dan kolektif. Kolonialisme primitif dan barbar itu terbukti dengan tindakan ketidakadilan, rasisme, kekerasan negara yang menggunakan kekuatan TNI-Polri yang telah melahirkan pelanggaran berat HAM sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini.
Siasat bangsa kolonial primitif dan babar Indonesia yang memiskinkan dan memusnahkan kami dengan produksi hoax atau mitos-mitos dan stigma-stigma: separatis, makar, opm, dan terbaru kkb. Ini semua sesungguhnya kejahatan kemanusiaan di depan mata kita yang dilakukan Indonesia dalam era keterbukaan dan peradaban tinggi yang mengutamakan penghormatan martabat kemanusiaan.
Mari, kita semua sadar dan bangkit dan HARUS lawan, hentikan dan hilangkan mitos atau stigma: separatis, makar, opm, kkb yang diproduksi dan dipelihara serta digunakan penguasa asing Negara Indonesia dan TNI-Polri sebagai kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran berat HAM serta RASISME yang merendahkan dan menghina harkat dan martabat kemanusiaan kami orang asli Papua.
Watak TNI yang primitif dan babar digambarkan oleh Pastor Frans Lieshout,OFM sebagai saksi mata. Saya mengutip pernyataan itu sebagai berikut:
"Pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian. Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar." ( Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, 2020, hal. 593).
Ketiga, orang asli Papua HARUS sadar dan bangkit, bahwa kami adalah bangsa berdaulat penuh sejak turun-temurun. Kami bangsa yang tidak pernah dijajah dan diduduki bangsa lain sebelum bangsa kolonial primitif dan barbar Indonesia datang menduduki, merampok, menindas dan memusnahkan kami sejak 1 Mei 1963.
Penulis adalah orang asli Papua dari suku Lani. Karena, saya orang Lani, bangsa Papua dan orang Melanesia, maka saya mengambil contoh dari kehidupan orang tua saya.
Ayah saya bernama Mbipoka Jimmily Arigilek Yoman. Ayah saya punya TANAH di sebuah gunung yang bernama Gilo Malo. Ayah dari ayah saya dan turun-temurun berada, hidup dan berkarya dari TANAH tempat ini. Ini taman Eden. TANAH yang TUHAN berikan kepada orang tua dan untuk saya dan untuk anak cucu saya dan turun-temurun.
Kehidupan kami jelas. Keturunan kami kami juga jelas. Tatanan nilai-nilai hidup yang diwariskan tetap lestari atau hidup. Dari TANAH kami ini kami hidup BERDAULAT dan MERDEKA serta BEBAS. Tidak ada orang mengatur dan memerintah kami.
Kami ada tetangga dan ada komunitas orang Lani yang lebih luas. Mereka juga hidup berdaulat dan merdeka di atas TANAH warisan leluhur mereka. Kami hidup berdampingan dan hidup saling menghormati kedaulatan dan kemerdekaan suku kami. Kami tidak pernah mengemis kepada tetangga. Karena kami semua pemilik TANAH yang berdaulat dan merdeka serta otonom.
Dalam kedaulatan dan kemerdekaan itu, orang Lani selalu hidup harmoni, bekerjasama dan saling mendukung satu sama lain dalam kedaulatan dan kemerdekaan.
Kami juga memiliki sejarah, nilai-nilai budaya, bahasa, dan peraturan-peraturan dalam komunitas kami. Kami selalu patuh dan taat pada semua itu dalam kedaulatan dan kemerdekaan kami. Kami hidup tertip dan hidup bertanggungjawab atas hidup kami.
Suku Lani yang menggunakan bahasa Lani adalah suku terbesar di Papua, yang hidup, tinggal/mendiami dan bermukim sebagaia bangsa berdaulat dan merdeka berabad-abad di Pegunungan West Papua di bagian Barat dari Lembah Balim. Wilayah yang didiami pemilik dan pengguna bahasa Lani meliputi: Piramit, Makki, Tiom, Kelila, Bokondini, Karubaga, Mamit, Kanggime, Ilu, Mulia, Nduga, Kuyawagi, Sinak dan Ilaga.
Kata “Lani” akan memiliki arti yang jelas, lebih dalam dan luas, jika ditambah dengan kata "Ap" berarti menjadi Ap Lani yang mengandung makna, yaitu: "Orang-orang Otonom, mandiri, independen dan berdaulat penuh."

Dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” (Yoman, 2010, hal. 92) penulis menjelaskan sebagai berikut:
Kata Ap Lani artinya: ” orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya.”
Dari uraian artikel singkat ini menjadi jelas, bahwa rakyat dan bangsa West Papua dari Sorong-Merauke adalah bangsa BERDAULAT dan MERDEKA sejak turun-temurun. Indonesia sebagai bangsa kolonial primitif dan babar yang menjadi penjajah firaun moderen yang datang dengan wajah dan watak ketidakadilan, rasisme, fasisme, kekerasan dan kekejaman yang melahirkan pelanggaran berat HAM yang dimulai sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini.
Haris Azhar mengatakan: "Pemerintah Indonesia semakin mengabaikan kebijakan kemanusiaan berbasis hak asasi manusia (HAM), eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan stigma buruk di Papua, tetapi sebaliknya gencar melakukan pengiriman militer serta mesin bor untuk menggali tambang emas di Papua."
Mayon Soetrisno dalam bukunya: Arus Pusaran Soekarno, Roman Zaman Pergerakan, mengabadikan:
"Zaman akan berubah. Peta politik yang sekarang, adalah peta politik yang sedang berubah...Cepat atau lambat, masa keemasan tanah-tanah jajahan akan berakhir. Bagaimanapun bodoh dan primitifnya suatu bangsa, ia akan tumbuh, berkembang, menyerap kecerdasan, pengetahuan, ketrampilan dan memiliki naluri untuk mempertahankan hidup." (1985:122).
Harapan, doa dan impian orang asli Papua bahwa nubuatan ini segera digenapi.
"Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri." (Pdt. Izaac Samuel Kijne, Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).
Disemangati dari nubuatan ini, mari, kita SADAR, BERSATU, BANGKIT DAN LAWAN ketidakadilan, rasisme, kekerasan dan kejahatan Negara yang melahirkan pelanggaran berat HAM dan pemusnahan orang asli Papua yang terjadi secara konstitusional, sistematis, terstruktur, masif dan kolektif yang dimulai sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini.
Sudah waktunya kita membela martabat kemanusiaan kami dan kembalikan kedaulatan kami yang dirampas dan dirampok oleh kolonial primitif dan babar Indonesia. Sudah waktunya kita HARUS mengakhiri penderitaan, tetesan darah dan cucuran air mata orang asli Papua, pemilik TANAH Pusaka ini.

Selamat merenungkan. Tuhan memberkati.

0 Post a Comment: